Kamis, 10 November 2011

POSTKOLONIALISME DALAM CERPEN



Mimikri dan Resistensi dalam Cerpen Tambo Raden Sukmakarto

Karya Dari Dwicipta

(Sebuah Tinjauan Postkolonialisme Homi K. Bhabha)
Oleh
Jafar Lantowa


  1. Pendahuluan
Karya sastra mengungkapkan nilai-nilai sejarah yang ada pada masyarakat tertentu. Dalam hal ini, pengarang sebagai pencipta karya sastra tentu merupakan bagian dari masyarakat yang menggambarkan sejarah melalui karya sastranya. Menurut Endraswara (2011: 178) bahwa karya sastra yang dilahirkan oleh pengarang yang sekaligus pejuang, pelaku sejarah, dengan pengarang sebagai pengamat sejarah akan memiliki nuansa yang berbeda. Apalagi kalau pengarang demikian sekadar “membaca sejarah “, lalu mencipta karya-karya berbau kolonial, tentunya akan berdimensi lain. Karya-karya demikian, perlu didekati dari kajian postkolonial, agar terungkap apa yang ada di balik karya tersebut.
Kajian postkolonial, dengan sendiri tidak akan melupakan aspek-aspek kolonial, yaitu “penjajah” dan “terjajah”. Pada wilayah praktis, penciptaan wacana kolonial sama sekali meniadakan subjek terjajah. Wacana kolonial menarasikan masyarakat pribumi, seolah menulis di atas kertas kosong tentang masyarakat yang sama sekali belum ditandai. Kolonial memberi nama, mencirikan, dan mengkaji masyarakat terjajah dalam kerangka kerja dan aturan-aturan yang telah mereka tentukan. Mereka memiliki otoritas penuh untuk menciptakan gambaran masyarakat pribumi. Kolonialisme mengonstruksi masyarakat pribumi menurut kehendak dan tujuan-tujuan kekuasaannya.
Timur adalah sebuah metafora, yang dalam wacana Barat, hanyalah berfungsi layaknya panggung dramaturgi. Di atas panggung ini, Timur diperankan sebagai dramawan, dengan para orientalis sebagai sutradaranya. Timur disuguhkan sedemikian rupa kepada para penonton, yang terdiri tidak hanya para pembaca Barat, tetapi juga mereka membenarkan scenario sang sutradara. Bagi Barat, identitas Timur “benar-benar tak punya tanda, kecuali warna sepia. Cokelat tua. Setua sezaman kita” (Said, 2010:xi).
Menghadapi sikap penjajah yang demikian, Indonesia, mulai mengadakan perlawanan bersenjata. Perlawanan dilakukan dengan cara mimikri atau peniruan karena problem pertama dari masyarakat terjajah dalam menghadapi penjajah adalah problem emansipasi, peningkatan martabat diri supaya sejajar dengan kaum penjajah (Faruk, l998: 2). Konsep mimikri atau peniruan yang dipakai Bhabha lebih mengacu pada mimikri menurut bahasa. Menurut Bhabha, (l994: 86) mimikri kolonial adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a difference, that is almost the same, but not quite). Konsep mimikri Bhabha ini mengandung ambivalensi karena di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya. Mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan, yakni perbedaan tersebut merupakan proses pengingkaran. Ambivalensi mimikri terlihat dalam tatanan berikut ini, pertama, mimikri adalah suatu strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan ‘sang lain’ sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimikri juga merupakan ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang melekat pada fungsi strategis kekuatan dominasi kolonial. Pada prakteknya, mimikri juga mengusung paham mockery, meniru tetapi juga memperolok-olok (Bhabha, l994: 86). Sikap memperolok-olok ini juga merupakan suatu cara pribumi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kaum penjajah, antara masyarakat kecil dan penguasa.
Peniruan yang dilakukan pribumi atas penjajah Belanda bukan melalui bahasa, melainkan lebih banyak melalui gaya hidup yang menurut Adam (Faruk, l998: 3) sebagai manifestasi dari hasrat masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan kehendak zaman, mencapai kemajuan, dan menempatkan diri sama dengan bangsa penjajah. Menurut Macaulay (Bhabha, l994: 87), titik persinggungan antara mempelajari Eropa dan kultur kolonial adalah kelas interpreter, yakni sebuah kelas dimana pada tubuh orang-orangnya mengalir darah India, dan warna kulitnya menunjukkan orang India, tetapi cita rasa, pandangan, moral, dan intektualnya adalah Inggris.
Dalam makalah ini, penulis menganalisis cerpen “Tambo Raden Sukmakarto karya Dari Dwicipta. Cerpen ini menceritakan tentang seorang pribumi yang termasuk bangsawan Jawa, anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena asyik berpesiar ke Eropa. Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda. Pemuda ini bernama Raden Sukmakarto, yang memiliki talenta dalam bidang kesenian. Talentanya tersebut memberanikan dirinya untuk berbaur dengan bangsa Belanda dalam sebuah pertemuan resmi yang diadakan oleh raja dan ratu Belanda. Ia ikut menyanyikan lagu kebangsaan Belanda bersama para tamu dari bangsa Belanda, namun ia menggantikan lagu tersebut dengan bahasa Jawa dengan nada yang tetap merupakan nada lagu kebangsaan Belanda. Hal ini, tampak adanya mimikri atau peniruan dengan tujuan sebagai bentuk resistensi dari pribumi terhadap bangsa Belanda.
Raden Sukmakarto melakukan peniruan atau mimikri, yakni dengan cara melantunkan lagu kebangsaan Belanda dengan menggunakan bahasa Belanda. Peniruan atau mimikri yang dia lakukan yakni peniruan dalam nada yang ada dalam lagu kebangsaan Belanda.

  1. Pembahasan
Konsep Bhaba mengenai postkolonialisme bahwa penjajah itu split seperti Max Havelar yang melahirkan politik etis di Indonesia. Baik dari konsep Said maupun Bhaba, konsep dari poskolonial bermuara pada lost identity atau kehilangan jati dirinya, baik dalam orientalisme, mimikri, maupun hibriditi. Homi K. Bhaba (dalam Faruk, 2007:6) membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial selalu bersifat ambigu, polisemik. Karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan bermacam-macam dan bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial, identifikasi masyarakat terjajah terhadap penjajahnya. Pada level pemaknaan, tindakan masyarakat terjajah untuk meniru (to mimic) itu dapat pula menjadi suatu ejekan (mockery) terhadap penajajah karena mereka tidak melakukan peniruan sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan penjajah.
Faruk (2007:6) menyatakan bahwa tindakan masyarakat terjajah dalam melakukan peniruan ada kemungkinan mengejek penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan dengan sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan penjajah.
Dalam cerpen “Tambo Raden Sukmakarto karya Dari Dwicipta, tampak adanya resistensi berupa mimikri yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto seorang pribumi yang menghadiri pertemuan resmi yang diselenggarakan oleh kebangsaan Belanda. Resistensi dilakukan oleh Raden tidak terlepas dari bakat atau talentanya dalam kesenian khususnya suaranya yang merdu dalam menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Belanda. Adapun resistensi yang dilakukan melalui mimikri. Mimikri tersebut berupa peniruan nada lagu kebangsaan Belanda, dan menyanyikannya dengan menggunakan bahasa Jawa. Sehingga para tamu tersentak kaget dan mengarahkan pandangan mereka ke Raden Sukmakarto. Hal ini yang membuat Raden tersebut tekenal di Batavia. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda. Namun peristiwa di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring-lah yang membuat ia menjadi lelaki paling terkenal di Batavia di masa itu. Ketika lagu Wilhelmus van Nassau mulai mengumandang di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring, seorang lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan lagu aneh berbahasa Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan Belanda tersebut. Sontak saja beberapa hadirin dalam ruangan bersuasana khidmat itu menoleh ke arahnya. Belangkon yang dikenakannya dipakai terbalik sejak irama lagu kebangsaan Belanda mulai mengalir.”
Kutipan di atas menggambarkan bahwa seorang pribumi yang berani mengubah nada dalam lagu kebangsaan Belanda dengan bahasa Jawa. Ia melakukan tindakan tersebut dengan memanfaatkan kemampuan dalam dunia tarik suara yang menarik bagi bangsa Belanda. Selain itu, pribumi melakukan perlawanan terhadap penjajah melalui sikap penghinaan yakni dengan membalikkan Belangkon yang dipakaiannya sejak irama lagu kebangsaan Belanda dimulai. Bagi bangsa Belanda ini merupakan penghinaan besar terhadap bangsa mereka.
Dalam cerpen ini pula, tampak adanya perbedaan warna kulit antara pribumi dengan bagsa Belanda. Pribumi dikatakan berkulit cokelat dan bertubuh pendek, dan Belanda berkulit putih. Namun, hal ini tidak membuat Raden Sukmakarto rendah diri. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Tubuhnya yang pendek dengan kulit coklat seperti memberi warna tersendiri dari kumpulan bangsa-bangsa kulit putih yang berdandan anggun malam itu. Sekalipun ia merasa beda di antara sebagian besar pengunjung, tak sedikit pun terpancar kerendah-dirian pada dirinya.”
Hal tersebut menandakan bahwa Raden bahwa Raden menyuarakan bahwa pribumi tidak mementingkan warna kulitnya, yang penting bagi Raden adalah dapat melakukan perlawanan terhadap bangsa Belanda. Kejadian penghinaan tersebut terdengar oleh opsir Belanda.
Mendengar laporan tindakan Raden Sukmakarto tersebut, dua orang opsir dan dua pembantunya menemui Raden serta menanyakan seluk-beluknya mengubah lagu kebangsaan Belanda dengan Bahasa Jawa. Ia seakan-akan tak menghiraukan pertanyaan dari opsir bangsa Belanda tersebut, bahkan Opsir menuduh bahwa Raden tersebut sangaja menghina bangsa mereka. Hal tersbut tampak pada kutipan berikut.
Apa yang kau nyanyikan? Apakah kau menghina ratu kami?” tanya opsir itu setelah menggelandang lelaki aneh itu ke ruang keamanan. Laki-laki itu memandang sang opsir dengan raut muka tiada salah. Wajahnya tak membersitkan apa pun selain ketidaktahuan ketika ia digelandang begitu saja dari ruang peresmian dan melewati lorong-lorong yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan Rembrandt. Justru sepanjang digelandang, mulutnya berdecak-decak kagum mengamati lukisan pelukis Belanda itu walaupun hanya mengamatinya sambil lalu. Dan ketika sudah berada di kantor keamanan di lantai dua itu, ia tak henti-hentinya memandangi potret seorang Jenderal di masa perang Jawa, penakluk pemberontakan Diponegoro dan Bonjol.
Ia kurang hidup dengan memegang tongkat komando seperti itu, sementara sorot matanya tak membersitkan kekejaman dan keculasan seperti yang ia praktikkan di masa perang,” katanya bak seorang kampiun kurator lukisan.”
Kutipan di atas, tampak adanya sikap resistensi seorang pribumi terhadap Belanda berupa sikap acuh atau tidak memperhatikan pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Hal ini, menunjukkan sikap keberanian seorang pribumi dalam menghadapi Belanda yang selama ini menjajah bangsanya.
Sikapnya ini, membuahkan amarah dari Opsir sehingga tampaklah gambaran penjajah yang menganggap pribumi itu lemah. Kelemahan Raden akhirnya mendapat serangan dari Opsir berupa tamparan, karena sikap acuh yang dilakukan oleh Raden terhadap Opsir. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Opsir itu murka dan menampar mukanya.
Dasar Inlander! Apakah kau tak mendengar pertanyaanku?! Perbuatanmu di ruang peresmian sudah cukup mengantarkanmu di tiang gantungan. Sekarang kau menghina tuan Jenderal De Kock yang terhormat,” katanya dengan gusar.”
Raden pun akhirnya mengutarakan dengan tegas pendapatnya yang dianggapnya bahwa perbuatannya itu sesuatu yang tidak mengandung kesalahan seperti yang diduga oleh Opsi tersebut. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Aku seorang seniman, apakah aku salah kalau berpendapat? Bukankah gedung ini dibangun untuk keagungan kesenian Hindia Belanda?” kata lelaki berkulit sawo matang itu dengan mimik menuntut.
Bahkan seorang seniman sekalipun harus punya aturan, bukan seperti pemberontak macam kamu,” jawab sang opsir. “Apa yang kau nyanyikan di ruang peresmian itu?”
Wilhelmus van Nassau.”
Itu bukan lagu kebangsaan bangsa kami. Itu lagu Jawa.”
Karena kunyanyikan dalam bahasa Jawa. Kalau tuan sekiranya tahu bahasa Jawa, tentu tuan akan mengerti lagu itu,” jawabnya dengan enteng. Pukulan tangan beberapa kali dari opsir tinggi besar itu membuat darah meleleh dari mulut dan hidungnya. Barangkali bibir dan tulang rawannya pecah dipukuli oleh opsir itu dan dua pengawalnya.
Kau mau menipu kami?!”
Saya tidak menipu, Tuan. Saya bicara sesungguhnya.”
Opsir itu meninggalkan ruang keamanan yang disulap menjadi ruang interogasi dalam waktu singkat. Tak lama setelah meninggalkan ruangan itu, ia kembali lagi dengan membawa seorang Belanda lain yang berpakaian indah dan pesolek.
Kutipan di atas, semakin membuktikan, keberanian seorang pribumi dalam melakukan resistensi berupa peniruan/mimikri terhadap lagu kebangsaan Belanda yang dinyanyikan dalam bahasa Jawa dengan menggunakan nada kebangsaan Belanda. Bagi bangsa Belanda, Raden tersebut menipu bangsanya dengan alasannya dalam menyanyikan lagu kebangsaan Belanda tersebut.
Dalam cerpen ini, dijelaskan bahwa bangsa Belanda tidak seperti yang dipikirkan oleh bangsa Timur, yakni bangsa yang berbudaya. Kenyataannya tidak demikian. Raden menyampaikan bahwa bangsa Belanda tidak berbudaya, karena serangan yang tak pantas terhadapnya dari Opsi yang membuat wajah dan hidungnya berdarah. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
““Apakah tuan benar-benar mau mendengarkan? Saya kira semua orang Belanda berbudaya. Tapi saya malah mendapatkan pukulan.”
Pukulan dan kekerasan fisik adalah tata cara interogasi, tuan.
Begitulah gambaran bangsa Belanda ketika menginterogasi pribumi jika melakukan kesalahan. Dalam kutipan selanjutnya, bangsa Belanda, merasa senang dengan lagu yang dilantunkan oleh Raden dengan berbahasa Jawa. Hal ini membuat perlwanan Raden berupa menghina bangsa Belanda semakin kuat. Hal tersbut tampak pada kutipan berikut.
Ayolah, saya ingin mendengarkan tuan menggubah lagu kebangsaan negeri kami,” kata Belanda pesolek itu dengan suara halus.
Lelaki itu kemudian menyanyikan lagu Jawa yang terdengar aneh di telinga opsir dan dua pengawalnya itu. Sementara Belanda pesolek bernama Hooykaas mendengarkan nyanyiannya dengan saksama. Wajahnya yang berdahi lebar sedang memikirkan sesuatu. Setelah lelaki itu selesai menyanyikan lagunya, bola mata Hooykaas bersinar-sinar gembira.
Aha, tuan bisa menggubah liriknya ke dalam bahasa Jawa yang indah. Tak pernah kudengarkan lagu kebangsaan kami dinyanyikan dalam bahasa selain bahasa Belanda. Tuan benar-benar memiliki darah seni yang kuat,” katanya.
Opsir yang mendengarkan komentar Belanda pesolek itu tertegun mendengar komentarnya.
Tapi ia menghina ratu karena menyanyikan lagu kebangsaan dengan cara yang aneh. Tuan Gubernur Jenderal tentu akan murka dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tubuhnya akan dicerai-beraikan dengan empat kuda yang lari ke empat penjuru mata angin. Tuan tahu Peter Elberfeld? Nasib tuan tidak akan jauh seperti dia dahulu,” katanya.

Kutipan di atas, menggambarkan seorang pribumi yang memiliki talenta dalam kesenian, sehingga memanfaatkan talenta tersebut dengan menipu bangsa Belanda. Raden ini terkesan melakukan penghinaan terhadap bangsa Belanda. Karena lagu kebangsaan Belanda dinyanyikan dengan bahasa Jawa yang menurut bangsa Belanda sangat aneh. Hal ini terdapat dalam kutipan di atas.
Bentuk penghinaan pribumi terhadap Belanda, tampak pada kutipan berikut.
Hapuslah darah tuan. Nasib hidup tuan barangkali tidak lama lagi. Pertama tuan menghina bangsa kami dengan menyanyikan lagu Wilhelmus van Nassau dalam bahasa Jawa. Kedua, menurut pengakuan opsir k\ami, tuan membalikkan belangkon yang tuan pakai ketika lagu kebangsaan kami mulai berkumandang. Itu perbuatan menghina bangsa tuan sendiri. Dan yang ketiga, masih menurut opsir kami, tuan menghina lukisan potret salah satu pahlawan perang kami di tanah Hindia ini, seorang strateeg yang andal seperti Jenderal De Kock,” katanya dengan senyum simpul.
Menurut persangkaan opsir, bahwa tak lama lagi Raden akan mati, karena akan dihukum mati oleh Belanda Pesolek, karena telah melakukan penghinaan terhadap bangsa Belanda. Namun, begitu cerdasnya Raden ini, dengan memanfaatkan talentanya dalam kesenian, dan ilmunya yang luas, maka Belanda pesolek yang akan menghukumnya, terpengaruh juga dengan kata-katanya yang cukup mengagumkan Belanda pesolek tersebut. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Sambil menghapus darah yang masih menetes dari mulut dan hidungnya, ia melirik sebentar ke arah lukisan itu.
Ah, aku yakin tuan tahu belaka letak kesalahan lukisan ini. Bagaimana Jenderal besar semacam De Kock tak memiliki syarat-syarat seperti yang saya katakan pada opsir tuan ini. Dia seorang strateeg seperti kata tuan tadi, tapi di mana tuan dapati kesan itu pada lukisan ini,” katanya sambil menunjuk lukisan yang ada di sisi kirinya. “Bisa tuan bandingkan ketika pelukis kami yang tersohor di daratan Eropa melukis Pangeran Diponegoro, musuh Jenderal De Kock pahlawan tuan itu. Padahal bangsa tuan memiliki pelukis-pelukis yang tersohor di seluruh dunia. Bangsa kami hanya memiliki Raden Saleh.”
Ah, saya kagum pada tuan. Rupanya tuan memiliki pandangan yang luas. Apakah tuan pernah melihat lukisan Raden Saleh?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Ya, tuan. Saya pernah merantau ke negeri tuan, dan tinggal di Paris selama dua tahun. Telah saya cari seluruh lukisan raden Saleh di seluruh Eropa. Saya datang ke bekas rumahnya di Belanda. Apa pekerjaan tuan kalau saya boleh tahu?” tanyanya dengan raut muka acuh tak acuh.
Saya seorang penulis. Saya datang dari negeri Belanda dan tinggal di Hindia Belanda karena tertarik dengan alam khatulistiwa yang dituliskan sastrawan besar kami, Multatuli. Sastrawan Agung Goethe dari negeri Jerman saja kagum dengan Hindia Belanda. Itulah sebabnya saya sampai di sini. Sedangkan tuan Gubernur Jenderal Idenburg adalah teman saya semasa menyelesaikan studi di Belanda. Itulah sebabnya saya dipanggil dalam peresmian gedung ini,” katanya.
Kabarnya tuan Gubernur Jenderal sangat menghormati kesenian dan para intelektual. Itulah sebabnya saya berani menyanyikan lagu kebangsaan tuan dalam bahasa bangsa kami,” sergahnya.
Tentu saja, Tuan. Dia amat menghormati kesenian. Tapi dia juga penguasa politik di negeri ini.”
Oh, benarkah? Tapi seorang penguasa negeri sekalipun tak akan dengan mudah menjatuhkan hukuman bukan? Saya dengar dia banyak memanggil kaum intelektual dan seniman Hindia Belanda ke kantornya dan untuk acara-acara resmi. Ia memang keras terhadap aktivitas politik kaum pribumi seperti Dr Cipto dan Suwardi dan orang dari negeri tuan sendiri seperti Douwes Dekker. Tapi orang seperti saya apakah menghina bangsa tuan?”
Belanda pesolek itu terpukau dengan ketenangan dan wajah tiada bersalah dari lelaki itu. Ucapannya tajam, namun apa yang keluar dari mulutnya amat menarik hatinya. Rencananya berjalan mulus.

Kutipan tersbut, menggambarkan strategis yang dilakukan Raden agar dirinya tidak dihukum mati. Ia berhasil mempengarui pesolok Belanda dengan kata-katanya yang mengagumkan pesolok Belanda tersebut. Sementara itu, opsir dan pengawalnya tak sabar menanti keputusan pesolek Belanda akan hukuman yang diberikan kepada Raden tersebut. Kegelisahan mereka tampak pada kutipan berikut.
Opsir yang menginterogasi lelaki itu duduk gelisah di atas kursinya, mengetukkan jemarinya pada meja. Opsir itu silih berganti dengan tuan Hooykaas menanyai Raden Sukmakarto perihal perilaku-perilakunya di gedung itu. Yang satu dengan upaya menyudutkannya ke arah hukuman, sedangkan pihak yang lain berusaha mengarahkan pembicaraan ke arah kesenian. Keduanya bersitegang dan hampir adu mulut untuk menentukan apakah inlander yang kini mereka interogasi itu bersalah.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerahkan perkara ke Gubernur Jenderal setelah acara selesai. Orang-orang Betawi, menunggu keputusan atas hukuman yang dijatuhkan kepada Raden. Namun, hukuman itupun tidak terjadi. Hal ini karena strategi Raden yang begitu kuat dalam melindungi dirinya dari sikap perlawanan dari bangsa Belanda. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Akhirnya mereka bersepakat menyerahkan persoalan itu kepada tuan Gubernur Jenderal setelah acara berlangsung.
Desas-desus perilaku Raden Sukmakarto menyebar di seluruh Batavia. Orang-orang mulai bertaruh tentang berapa banyak waktu bagi lelaki nyentrik itu untuk menghirup napas bebas di muka bumi. Sampai pada saat ia dipanggil Tuan Gubernur Jenderal Idenburg ke kantornya di Weltevreden, orang-orang di seluruh Batavia diam-diam menunggu-nunggu dengan tidak sabar.
Entah bagaimana kejadiannya ketika bertemu dengan tuan Gubernur Jenderal Idenburg, Raden Sukmakarto keluar dari kantor Gubernur Jenderal itu dengan wajah berbinar-binar gembira. Orang-orang bertanya padanya kenapa ia tak dihukum mati seperti perkiraan sebagian besar orang. Tapi lelaki berkulit sawo matang dengan penampilan ganjil itu tak memberikan jawaban memuaskan. Ia hanya bercerita di dalam kantor tuan Gubernur Jenderal, ia menyanyikan banyak lagu-lagu Eropa dan memainkan musik klasik kesukaan tuan Gubernur Jenderal sampai lelaki yang paling berkuasa di Batavia itu tertidur.
Setelah bangun dari tidurnya ia menyuruhku pergi, dan selamatlah aku dari hukuman mati,” katanya dengan raut muka tiada bersalahnya.
Kisah Raden Sukmakarto itu menyebar menjadi berita heboh di Batavia, mengalahkan kedatangan rombongan pentas musik dan para pelukis negeri Belanda yang datang dan mengadakan pameran di Gedung yang baru diresmikan itu. Muncul pula desas-desus lain bahwa lelaki berkulit sawo matang itu telah membohongi tuan Hooykaas dengan mengganti lirik lagu yang dinyanyikannya di dalam gedung peresmian dan di depan tuan Hooykaas sendiri. Sejak itu para intel melayu selalu mengikutinya. Namun mereka tak kunjung memiliki alasan kuat untuk membongkar desas-desus yang beredar itu.
Di akhir kutipan tersebut, jelas bahwa resistensi dalam bentuk mimikri yang dilakukan oleh pribumi, dalam hal ini Raden Sukmakarto berhasil mengalahkan kedatangan pentas musik dan para pelukis Belanda yang datang dan mengadakan pameran gedung yang baru diresmikan itu. Penguasaannya terhadap lagu Eropa dan memainkan musik kesukaan tuan gubernur jenderal, yang membuat dia melakukan perlawanan kepada Belanda dengan cara menghina bangsa Belanda. Penghinaan tersebut dilakukan atas dasar peniruan irama lagu kebangsaan Belanda, dan ia nyanyikan dengan berbahasa Belanda. Inilah yang dimaksud dalam teori Bhaba sebuah konsep mimikri, yakni peniruan dengan tujuan melakukan perlawanan. Sebagaimana yang dikemukakan Bahaba, (1994:86) Pada prakteknya, mimikri juga mengusung paham mockery, meniru tetapi juga memperolok-olok. Sikap memperolok-olok ini juga merupakan suatu cara pribumi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kaum penjajah, antara masyarakat kecil dan penguasa.

  1. Penutup
Berdasarkan analisis dalam bagian sebelumnya, maka dapat dismpulkan bahwa resistensi dilakukan oleh figur resistensi yakni Raden Sukmakarto, sedangkan prosesnya dimulai dengan mimikri. Raden Sukmakarto melakukan mimikri dengan cara yang dalam pengertian Bhaba (1994) hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya. Di satu pihak, mimikri yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto memproduksi sifat superioritas Eropa (Belanda) secara terus-menerus dan sekaligus memproduksi inferioritas pribumi, di lain pihak dapat dipahami sebagai olok-olok pribumi terhadap eropa (Belanda) dengan menempatkan budaya eropa (Belanda) sebagai produk budaya yang dapat ditiru dan dipermainkan. Mimikri yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto dimotivasi oleh hasrat agar mendapatkan kemajuan yang setara dengan Barat atau Eropa. Setelah merasa setara, Raden Sukmakarto melakukan resistensi atau perlawanan, dengan memanfaatkan talentanya dalam kesenian. Suaranya terdengar merdu ketika menyani sehingga penajah tertarik mendengarnya. Namun, kemampuan itu, dimanfaatkan sebagai bentuk perlawanan berupa penghinaan terhadap lagu kebnagsaan Belanda. Sehingga tampak adanya resistensi yang dilakukan pribumi terhadap penjajah. Resistensi juga dilakukan dengan pengakuan Raden terhadap bangsa Belanda sebagai bangsa yang tidak berbudaya karena penindasan yang diberikan kepadanya, penghinaan Raden terhadap lagu kebangsaan Belanda, serta penipuan Raden tetrhadap gubernur jenderal sehingga dirinya terbebas dari hukuman mati yang mengancam dirinya, kemudian resistensi, mengalahkan kedatangan rombongan pentas musik dan para pelukis negeri Belanda yang datang dan mengadakan pameran di Gedung yang baru diresmikan itu.

Daftar Pustaka
Bhabha, Homi. K. l994. The Location of Culture, London: Routledge

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistomologi, Model,
Teori, dan Aplikasi.Yogyakarta:CAPS.

Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______1998. “Mimikri: Persoalan Post-Kolonial dalam Sastra Indonesia”. Makalah Seminar Pada an International Research Workshop University of Sydney.

Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Penerjemah Hartono
Hadikusumo. Judul Asli colonialism, postcolonialism diterbitkan oleh Routledg Taylor di New York). Yogyakarta: Bentang Budaya.

Ratna, Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Said, Edward W. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan
Mendudukkan Timur Sebagai Subjek, (Penerjemah Achmad Fawaid. Judul Asli Orientalism diterbitkan oleh Vintage Books di New York). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar