Mimikri dan Resistensi dalam Cerpen Tambo Raden Sukmakarto
Karya Dari Dwicipta
(Sebuah
Tinjauan Postkolonialisme Homi K. Bhabha)
Oleh
Jafar
Lantowa
- Pendahuluan
Karya sastra
mengungkapkan nilai-nilai sejarah yang ada pada masyarakat tertentu.
Dalam hal ini, pengarang sebagai pencipta karya sastra tentu
merupakan bagian dari masyarakat yang menggambarkan sejarah melalui
karya sastranya. Menurut Endraswara (2011: 178) bahwa karya sastra
yang dilahirkan oleh pengarang yang sekaligus pejuang, pelaku
sejarah, dengan pengarang sebagai pengamat sejarah akan memiliki
nuansa yang berbeda. Apalagi kalau pengarang demikian sekadar
“membaca sejarah “, lalu mencipta karya-karya berbau kolonial,
tentunya akan berdimensi lain. Karya-karya demikian, perlu didekati
dari kajian postkolonial, agar terungkap apa yang ada di balik karya
tersebut.
Kajian postkolonial,
dengan sendiri tidak akan melupakan aspek-aspek kolonial, yaitu
“penjajah” dan “terjajah”. Pada wilayah praktis, penciptaan
wacana kolonial sama sekali meniadakan subjek terjajah. Wacana
kolonial menarasikan masyarakat pribumi, seolah menulis di atas
kertas kosong tentang masyarakat yang sama sekali belum ditandai.
Kolonial memberi nama, mencirikan, dan mengkaji masyarakat terjajah
dalam kerangka kerja dan aturan-aturan yang telah mereka tentukan.
Mereka memiliki otoritas penuh untuk menciptakan gambaran masyarakat
pribumi. Kolonialisme mengonstruksi masyarakat pribumi menurut
kehendak dan tujuan-tujuan kekuasaannya.
Timur adalah sebuah
metafora, yang dalam wacana Barat, hanyalah berfungsi layaknya
panggung dramaturgi. Di atas panggung ini, Timur diperankan sebagai
dramawan, dengan para orientalis sebagai sutradaranya. Timur
disuguhkan sedemikian rupa kepada para penonton, yang terdiri tidak
hanya para pembaca Barat, tetapi juga mereka membenarkan scenario
sang sutradara. Bagi Barat, identitas Timur “benar-benar tak punya
tanda, kecuali warna sepia. Cokelat tua. Setua sezaman kita” (Said,
2010:xi).
Menghadapi sikap
penjajah yang demikian, Indonesia, mulai mengadakan perlawanan
bersenjata. Perlawanan dilakukan dengan cara mimikri atau peniruan
karena problem pertama dari masyarakat terjajah dalam menghadapi
penjajah adalah problem emansipasi, peningkatan martabat diri supaya
sejajar dengan kaum penjajah (Faruk, l998: 2). Konsep mimikri atau
peniruan yang dipakai Bhabha lebih mengacu pada mimikri menurut
bahasa. Menurut Bhabha, (l994: 86) mimikri kolonial adalah suatu
hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir
sama, tetapi tidak sepenuhnya (as
subject of a difference, that is almost the same, but not quite).
Konsep mimikri Bhabha ini mengandung ambivalensi karena di satu sisi
kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum
penjajah, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya. Mimikri
muncul sebagai representasi dari perbedaan, yakni perbedaan tersebut
merupakan proses pengingkaran. Ambivalensi mimikri terlihat dalam
tatanan berikut ini, pertama, mimikri adalah suatu strategi yang
rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan
‘sang lain’ sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimikri juga
merupakan ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang
melekat pada fungsi strategis kekuatan dominasi kolonial. Pada
prakteknya, mimikri juga mengusung paham mockery,
meniru tetapi juga memperolok-olok (Bhabha, l994: 86). Sikap
memperolok-olok ini juga merupakan suatu cara pribumi untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan kaum penjajah, antara masyarakat
kecil dan penguasa.
Peniruan yang
dilakukan pribumi atas penjajah Belanda bukan melalui bahasa,
melainkan lebih banyak melalui gaya hidup yang menurut Adam (Faruk,
l998: 3) sebagai manifestasi dari hasrat masyarakat terjajah untuk
menyesuaikan diri dengan kehendak zaman, mencapai kemajuan, dan
menempatkan diri sama dengan bangsa penjajah. Menurut Macaulay
(Bhabha, l994: 87), titik persinggungan antara mempelajari Eropa dan
kultur kolonial adalah kelas interpreter, yakni sebuah kelas dimana
pada tubuh orang-orangnya mengalir darah India, dan warna kulitnya
menunjukkan orang India, tetapi cita rasa, pandangan, moral, dan
intektualnya adalah Inggris.
Dalam
makalah ini, penulis menganalisis cerpen “Tambo Raden Sukmakarto
karya Dari Dwicipta. Cerpen ini menceritakan tentang seorang pribumi
yang termasuk bangsawan Jawa, anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA
yang tak menyelesaikan studinya karena asyik berpesiar ke Eropa.
Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia
Belanda. Pemuda ini bernama Raden Sukmakarto, yang memiliki talenta
dalam bidang kesenian. Talentanya tersebut memberanikan dirinya untuk
berbaur dengan bangsa Belanda dalam sebuah pertemuan resmi yang
diadakan oleh raja dan ratu Belanda. Ia ikut menyanyikan lagu
kebangsaan Belanda bersama para tamu dari bangsa Belanda, namun ia
menggantikan lagu tersebut dengan bahasa Jawa dengan nada yang tetap
merupakan nada lagu kebangsaan Belanda. Hal ini, tampak adanya
mimikri atau peniruan dengan tujuan sebagai bentuk resistensi dari
pribumi terhadap bangsa Belanda.
Raden Sukmakarto
melakukan peniruan atau mimikri, yakni dengan cara melantunkan lagu
kebangsaan Belanda dengan menggunakan bahasa Belanda. Peniruan atau
mimikri yang dia lakukan yakni peniruan dalam nada yang ada dalam
lagu kebangsaan Belanda.
- Pembahasan
Konsep
Bhaba mengenai postkolonialisme bahwa penjajah itu split seperti Max
Havelar yang melahirkan politik etis di Indonesia. Baik dari konsep
Said maupun Bhaba, konsep dari poskolonial bermuara pada lost
identity atau
kehilangan jati dirinya, baik dalam orientalisme,
mimikri,
maupun hibriditi.
Homi
K.
Bhaba (dalam Faruk, 2007:6) membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana
kolonial selalu bersifat ambigu, polisemik. Karena itu, konstruksi
kolonial mengenai dirinya maupun mengenai Timur dapat memperoleh
pemaknaan bermacam-macam dan bahkan bertentangan. Peniruan yang
dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan
yang ditawarkan oleh wacana kolonial, identifikasi masyarakat
terjajah terhadap penjajahnya. Pada level pemaknaan, tindakan
masyarakat terjajah untuk meniru (to
mimic)
itu dapat pula menjadi suatu ejekan (mockery)
terhadap penajajah karena mereka tidak melakukan peniruan sepenuhnya
setia pada model yang ditawarkan penjajah.
Faruk (2007:6)
menyatakan bahwa tindakan masyarakat terjajah dalam melakukan
peniruan ada kemungkinan mengejek penjajah karena mereka tidak
melakukan peniruan dengan sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan
penjajah.
Dalam cerpen “Tambo
Raden Sukmakarto karya Dari Dwicipta, tampak adanya resistensi berupa
mimikri yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto seorang pribumi yang
menghadiri pertemuan resmi yang diselenggarakan oleh kebangsaan
Belanda. Resistensi dilakukan oleh Raden tidak terlepas dari bakat
atau talentanya dalam kesenian khususnya suaranya yang merdu dalam
menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Belanda. Adapun resistensi yang
dilakukan melalui mimikri. Mimikri tersebut berupa peniruan nada lagu
kebangsaan Belanda, dan menyanyikannya dengan menggunakan bahasa
Jawa. Sehingga para tamu tersentak kaget dan mengarahkan pandangan
mereka ke Raden Sukmakarto. Hal ini yang membuat Raden tersebut
tekenal di Batavia. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Bakatnya
dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda.
Namun peristiwa di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring-lah yang
membuat ia menjadi lelaki paling terkenal di Batavia di masa itu.
Ketika lagu Wilhelmus van Nassau mulai mengumandang di gedung
Nederlandsch-Indie Kunstkring, seorang lelaki pribumi berdestar dan
berterompah malah menyanyikan lagu aneh berbahasa Jawa meskipun
nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan Belanda tersebut. Sontak
saja beberapa hadirin dalam ruangan bersuasana khidmat itu menoleh ke
arahnya. Belangkon yang dikenakannya dipakai terbalik sejak irama
lagu kebangsaan Belanda mulai mengalir.”
Kutipan
di atas menggambarkan bahwa seorang pribumi yang berani mengubah nada
dalam lagu kebangsaan Belanda dengan bahasa Jawa. Ia melakukan
tindakan tersebut dengan memanfaatkan kemampuan dalam dunia tarik
suara yang menarik bagi bangsa Belanda. Selain itu, pribumi melakukan
perlawanan terhadap penjajah melalui sikap penghinaan yakni dengan
membalikkan Belangkon yang dipakaiannya sejak irama lagu kebangsaan
Belanda dimulai. Bagi bangsa Belanda ini merupakan penghinaan besar
terhadap bangsa mereka.
Dalam
cerpen ini pula, tampak adanya perbedaan warna kulit antara pribumi
dengan bagsa Belanda. Pribumi dikatakan berkulit cokelat dan bertubuh
pendek, dan Belanda berkulit putih. Namun, hal ini tidak membuat
Raden Sukmakarto rendah diri. Hal tersebut tampak pada kutipan
berikut.
“Tubuhnya
yang pendek dengan kulit coklat seperti memberi warna tersendiri dari
kumpulan bangsa-bangsa kulit putih yang berdandan anggun malam itu.
Sekalipun ia merasa beda di antara sebagian besar pengunjung, tak
sedikit pun terpancar kerendah-dirian pada dirinya.”
Hal
tersebut menandakan bahwa Raden bahwa Raden menyuarakan bahwa pribumi
tidak mementingkan warna kulitnya, yang penting bagi Raden adalah
dapat melakukan perlawanan terhadap bangsa Belanda. Kejadian
penghinaan tersebut terdengar oleh opsir Belanda.
Mendengar
laporan tindakan Raden Sukmakarto tersebut, dua orang opsir dan dua
pembantunya menemui Raden serta menanyakan seluk-beluknya mengubah
lagu kebangsaan Belanda dengan Bahasa Jawa. Ia seakan-akan tak
menghiraukan pertanyaan dari opsir bangsa Belanda tersebut, bahkan
Opsir menuduh bahwa Raden tersebut sangaja menghina bangsa mereka.
Hal tersbut tampak pada kutipan berikut.
“Apa
yang kau nyanyikan? Apakah kau menghina ratu kami?” tanya opsir itu
setelah menggelandang lelaki aneh itu ke ruang keamanan. Laki-laki
itu memandang sang opsir dengan raut muka tiada salah. Wajahnya tak
membersitkan apa pun selain ketidaktahuan ketika ia digelandang
begitu saja dari ruang peresmian dan melewati lorong-lorong yang
dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan Rembrandt. Justru sepanjang
digelandang, mulutnya berdecak-decak kagum mengamati lukisan pelukis
Belanda itu walaupun hanya mengamatinya sambil lalu. Dan ketika sudah
berada di kantor keamanan di lantai dua itu, ia tak henti-hentinya
memandangi potret seorang Jenderal di masa perang Jawa, penakluk
pemberontakan Diponegoro dan Bonjol.
“Ia
kurang hidup dengan memegang tongkat komando seperti itu, sementara
sorot matanya tak membersitkan kekejaman dan keculasan seperti yang
ia praktikkan di masa perang,” katanya bak seorang kampiun kurator
lukisan.”
Kutipan
di atas, tampak adanya sikap resistensi seorang pribumi terhadap
Belanda berupa sikap acuh atau tidak memperhatikan pertanyaan yang
dilontarkan kepadanya. Hal ini, menunjukkan sikap keberanian seorang
pribumi dalam menghadapi Belanda yang selama ini menjajah bangsanya.
Sikapnya
ini, membuahkan amarah dari Opsir sehingga tampaklah gambaran
penjajah yang menganggap pribumi itu lemah. Kelemahan Raden akhirnya
mendapat serangan dari Opsir berupa tamparan, karena sikap acuh yang
dilakukan oleh Raden terhadap Opsir. Hal ini tampak pada kutipan
berikut.
“Opsir
itu murka dan menampar mukanya.
“Dasar
Inlander! Apakah kau tak mendengar pertanyaanku?! Perbuatanmu di
ruang peresmian sudah cukup mengantarkanmu di tiang gantungan.
Sekarang kau menghina tuan Jenderal De Kock yang terhormat,”
katanya dengan gusar.”
Raden
pun akhirnya mengutarakan dengan tegas pendapatnya yang dianggapnya
bahwa perbuatannya itu sesuatu yang tidak mengandung kesalahan
seperti yang diduga oleh Opsi tersebut. Hal tersebut tampak pada
kutipan berikut.
“Aku
seorang seniman, apakah aku salah kalau berpendapat? Bukankah gedung
ini dibangun untuk keagungan kesenian Hindia Belanda?” kata lelaki
berkulit sawo matang itu dengan mimik menuntut.
“Bahkan
seorang seniman sekalipun harus punya aturan, bukan seperti
pemberontak macam kamu,” jawab sang opsir. “Apa yang kau
nyanyikan di ruang peresmian itu?”
“Wilhelmus
van Nassau.”
“Itu
bukan lagu kebangsaan bangsa kami. Itu lagu Jawa.”
“Karena
kunyanyikan dalam bahasa Jawa. Kalau tuan sekiranya tahu bahasa Jawa,
tentu tuan akan mengerti lagu itu,” jawabnya dengan enteng. Pukulan
tangan beberapa kali dari opsir tinggi besar itu membuat darah
meleleh dari mulut dan hidungnya. Barangkali bibir dan tulang
rawannya pecah dipukuli oleh opsir itu dan dua pengawalnya.
“Kau
mau menipu kami?!”
“Saya
tidak menipu, Tuan. Saya bicara sesungguhnya.”
Opsir
itu meninggalkan ruang keamanan yang disulap menjadi ruang interogasi
dalam waktu singkat. Tak lama setelah meninggalkan ruangan itu, ia
kembali lagi dengan membawa seorang Belanda lain yang berpakaian
indah dan pesolek.
Kutipan
di atas, semakin membuktikan, keberanian seorang pribumi dalam
melakukan resistensi berupa peniruan/mimikri terhadap lagu kebangsaan
Belanda yang dinyanyikan dalam bahasa Jawa dengan menggunakan nada
kebangsaan Belanda. Bagi bangsa Belanda, Raden tersebut menipu
bangsanya dengan alasannya dalam menyanyikan lagu kebangsaan Belanda
tersebut.
Dalam
cerpen ini, dijelaskan bahwa bangsa Belanda tidak seperti yang
dipikirkan oleh bangsa Timur, yakni bangsa yang berbudaya.
Kenyataannya tidak demikian. Raden menyampaikan bahwa bangsa Belanda
tidak berbudaya, karena serangan yang tak pantas terhadapnya dari
Opsi yang membuat wajah dan hidungnya berdarah. Hal tersebut tampak
pada kutipan berikut.
““Apakah
tuan benar-benar mau mendengarkan? Saya kira semua orang Belanda
berbudaya. Tapi saya malah mendapatkan pukulan.”
“Pukulan
dan kekerasan fisik adalah tata cara interogasi, tuan.
Begitulah
gambaran bangsa Belanda ketika menginterogasi pribumi jika melakukan
kesalahan. Dalam kutipan selanjutnya, bangsa Belanda, merasa senang
dengan lagu yang dilantunkan oleh Raden dengan berbahasa Jawa. Hal
ini membuat perlwanan Raden berupa menghina bangsa Belanda semakin
kuat. Hal tersbut tampak pada kutipan berikut.
Ayolah,
saya ingin mendengarkan tuan menggubah lagu kebangsaan negeri kami,”
kata Belanda pesolek itu dengan suara halus.
Lelaki
itu kemudian menyanyikan lagu Jawa yang terdengar aneh di telinga
opsir dan dua pengawalnya itu. Sementara Belanda pesolek bernama
Hooykaas mendengarkan nyanyiannya dengan saksama. Wajahnya yang
berdahi lebar sedang memikirkan sesuatu. Setelah lelaki itu selesai
menyanyikan lagunya, bola mata Hooykaas bersinar-sinar gembira.
“Aha,
tuan bisa menggubah liriknya ke dalam bahasa Jawa yang indah. Tak
pernah kudengarkan lagu kebangsaan kami dinyanyikan dalam bahasa
selain bahasa Belanda. Tuan benar-benar memiliki darah seni yang
kuat,” katanya.
Opsir
yang mendengarkan komentar Belanda pesolek itu tertegun mendengar
komentarnya.
“Tapi
ia menghina ratu karena menyanyikan lagu kebangsaan dengan cara yang
aneh. Tuan Gubernur Jenderal tentu akan murka dan menjatuhkan hukuman
mati padanya. Tubuhnya akan dicerai-beraikan dengan empat kuda yang
lari ke empat penjuru mata angin. Tuan tahu Peter Elberfeld? Nasib
tuan tidak akan jauh seperti dia dahulu,” katanya.
Kutipan
di atas, menggambarkan seorang pribumi yang memiliki talenta dalam
kesenian, sehingga memanfaatkan talenta tersebut dengan menipu bangsa
Belanda. Raden ini terkesan melakukan penghinaan terhadap bangsa
Belanda. Karena lagu kebangsaan Belanda dinyanyikan dengan bahasa
Jawa yang menurut bangsa Belanda sangat aneh. Hal ini terdapat dalam
kutipan di atas.
Bentuk
penghinaan pribumi terhadap Belanda, tampak pada kutipan berikut.
“Hapuslah
darah tuan. Nasib hidup tuan barangkali tidak lama lagi. Pertama tuan
menghina bangsa kami dengan menyanyikan lagu Wilhelmus van Nassau
dalam bahasa Jawa. Kedua, menurut pengakuan opsir k\ami, tuan
membalikkan belangkon yang tuan pakai ketika lagu kebangsaan kami
mulai berkumandang. Itu perbuatan menghina bangsa tuan sendiri. Dan
yang ketiga, masih menurut opsir kami, tuan menghina lukisan potret
salah satu pahlawan perang kami di tanah Hindia ini, seorang strateeg
yang andal seperti Jenderal De Kock,” katanya dengan senyum simpul.
Menurut
persangkaan opsir, bahwa tak lama lagi Raden akan mati, karena akan
dihukum mati oleh Belanda Pesolek, karena telah melakukan penghinaan
terhadap bangsa Belanda. Namun, begitu cerdasnya Raden ini, dengan
memanfaatkan talentanya dalam kesenian, dan ilmunya yang luas, maka
Belanda pesolek yang akan menghukumnya, terpengaruh juga dengan
kata-katanya yang cukup mengagumkan Belanda pesolek tersebut. Hal
tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Sambil
menghapus darah yang masih menetes dari mulut dan hidungnya, ia
melirik sebentar ke arah lukisan itu.
“Ah,
aku yakin tuan tahu belaka letak kesalahan lukisan ini. Bagaimana
Jenderal besar semacam De Kock tak memiliki syarat-syarat seperti
yang saya katakan pada opsir tuan ini. Dia seorang strateeg seperti
kata tuan tadi, tapi di mana tuan dapati kesan itu pada lukisan ini,”
katanya sambil menunjuk lukisan yang ada di sisi kirinya. “Bisa
tuan bandingkan ketika pelukis kami yang tersohor di daratan Eropa
melukis Pangeran Diponegoro, musuh Jenderal De Kock pahlawan tuan
itu. Padahal bangsa tuan memiliki pelukis-pelukis yang tersohor di
seluruh dunia. Bangsa kami hanya memiliki Raden Saleh.”
“Ah,
saya kagum pada tuan. Rupanya tuan memiliki pandangan yang luas.
Apakah tuan pernah melihat lukisan Raden Saleh?” tanyanya dengan
penuh rasa ingin tahu.
“Ya,
tuan. Saya pernah merantau ke negeri tuan, dan tinggal di Paris
selama dua tahun. Telah saya cari seluruh lukisan raden Saleh di
seluruh Eropa. Saya datang ke bekas rumahnya di Belanda. Apa
pekerjaan tuan kalau saya boleh tahu?” tanyanya dengan raut muka
acuh tak acuh.
“Saya
seorang penulis. Saya datang dari negeri Belanda dan tinggal di
Hindia Belanda karena tertarik dengan alam khatulistiwa yang
dituliskan sastrawan besar kami, Multatuli. Sastrawan Agung Goethe
dari negeri Jerman saja kagum dengan Hindia Belanda. Itulah sebabnya
saya sampai di sini. Sedangkan tuan Gubernur Jenderal Idenburg adalah
teman saya semasa menyelesaikan studi di Belanda. Itulah sebabnya
saya dipanggil dalam peresmian gedung ini,” katanya.
“Kabarnya
tuan Gubernur Jenderal sangat menghormati kesenian dan para
intelektual. Itulah sebabnya saya berani menyanyikan lagu kebangsaan
tuan dalam bahasa bangsa kami,” sergahnya.
“Tentu
saja, Tuan. Dia amat menghormati kesenian. Tapi dia juga penguasa
politik di negeri ini.”
“Oh,
benarkah? Tapi seorang penguasa negeri sekalipun tak akan dengan
mudah menjatuhkan hukuman bukan? Saya dengar dia banyak memanggil
kaum intelektual dan seniman Hindia Belanda ke kantornya dan untuk
acara-acara resmi. Ia memang keras terhadap aktivitas politik kaum
pribumi seperti Dr Cipto dan Suwardi dan orang dari negeri tuan
sendiri seperti Douwes Dekker. Tapi orang seperti saya apakah
menghina bangsa tuan?”
Belanda
pesolek itu terpukau dengan ketenangan dan wajah tiada bersalah dari
lelaki itu. Ucapannya tajam, namun apa yang keluar dari mulutnya amat
menarik hatinya. Rencananya berjalan mulus.
Kutipan
tersbut, menggambarkan strategis yang dilakukan Raden agar dirinya
tidak dihukum mati. Ia berhasil mempengarui pesolok Belanda dengan
kata-katanya yang mengagumkan pesolok Belanda tersebut. Sementara
itu, opsir dan pengawalnya tak sabar menanti keputusan pesolek
Belanda akan hukuman yang diberikan kepada Raden tersebut.
Kegelisahan mereka tampak pada kutipan berikut.
Opsir
yang menginterogasi lelaki itu duduk gelisah di atas kursinya,
mengetukkan jemarinya pada meja. Opsir itu silih berganti dengan tuan
Hooykaas menanyai Raden Sukmakarto perihal perilaku-perilakunya di
gedung itu. Yang satu dengan upaya menyudutkannya ke arah hukuman,
sedangkan pihak yang lain berusaha mengarahkan pembicaraan ke arah
kesenian. Keduanya bersitegang dan hampir adu mulut untuk menentukan
apakah inlander yang kini mereka interogasi itu bersalah.
Akhirnya
mereka memutuskan untuk menyerahkan perkara ke Gubernur Jenderal
setelah acara selesai. Orang-orang Betawi, menunggu keputusan atas
hukuman yang dijatuhkan kepada Raden. Namun, hukuman itupun tidak
terjadi. Hal ini karena strategi Raden yang begitu kuat dalam
melindungi dirinya dari sikap perlawanan dari bangsa Belanda. Hal
tersebut tampak pada kutipan berikut.
Akhirnya
mereka bersepakat menyerahkan persoalan itu kepada tuan Gubernur
Jenderal setelah acara berlangsung.
Desas-desus
perilaku Raden Sukmakarto menyebar di seluruh Batavia. Orang-orang
mulai bertaruh tentang berapa banyak waktu bagi lelaki nyentrik itu
untuk menghirup napas bebas di muka bumi. Sampai pada saat ia
dipanggil Tuan Gubernur Jenderal Idenburg ke kantornya di
Weltevreden, orang-orang di seluruh Batavia diam-diam menunggu-nunggu
dengan tidak sabar.
Entah
bagaimana kejadiannya ketika bertemu dengan tuan Gubernur Jenderal
Idenburg, Raden Sukmakarto keluar dari kantor Gubernur Jenderal itu
dengan wajah berbinar-binar gembira. Orang-orang bertanya padanya
kenapa ia tak dihukum mati seperti perkiraan sebagian besar orang.
Tapi lelaki berkulit sawo matang dengan penampilan ganjil itu tak
memberikan jawaban memuaskan. Ia hanya bercerita di dalam kantor tuan
Gubernur Jenderal, ia menyanyikan banyak lagu-lagu Eropa dan
memainkan musik klasik kesukaan tuan Gubernur Jenderal sampai lelaki
yang paling berkuasa di Batavia itu tertidur.
“Setelah
bangun dari tidurnya ia menyuruhku pergi, dan selamatlah aku dari
hukuman mati,” katanya dengan raut muka tiada bersalahnya.
Kisah
Raden Sukmakarto itu menyebar menjadi berita heboh di Batavia,
mengalahkan kedatangan rombongan pentas musik dan para pelukis negeri
Belanda yang datang dan mengadakan pameran di Gedung yang baru
diresmikan itu. Muncul pula desas-desus lain bahwa lelaki berkulit
sawo matang itu telah membohongi tuan Hooykaas dengan mengganti lirik
lagu yang dinyanyikannya di dalam gedung peresmian dan di depan tuan
Hooykaas sendiri. Sejak itu para intel melayu selalu mengikutinya.
Namun mereka tak kunjung memiliki alasan kuat untuk membongkar
desas-desus yang beredar itu.
Di
akhir kutipan tersebut, jelas bahwa resistensi dalam bentuk mimikri
yang dilakukan oleh pribumi, dalam hal ini Raden Sukmakarto berhasil
mengalahkan kedatangan pentas musik dan para pelukis Belanda yang
datang dan mengadakan pameran gedung yang baru diresmikan itu.
Penguasaannya terhadap lagu Eropa dan memainkan musik kesukaan tuan
gubernur jenderal, yang membuat dia melakukan perlawanan kepada
Belanda dengan cara menghina bangsa Belanda. Penghinaan tersebut
dilakukan atas dasar peniruan irama lagu kebangsaan Belanda, dan ia
nyanyikan dengan berbahasa Belanda. Inilah yang dimaksud dalam teori
Bhaba sebuah konsep mimikri, yakni peniruan dengan tujuan melakukan
perlawanan. Sebagaimana yang dikemukakan Bahaba, (1994:86) Pada
prakteknya, mimikri juga mengusung paham mockery, meniru
tetapi juga memperolok-olok. Sikap memperolok-olok ini juga merupakan
suatu cara pribumi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kaum
penjajah, antara masyarakat kecil dan penguasa.
- Penutup
Berdasarkan
analisis dalam bagian sebelumnya, maka dapat dismpulkan bahwa
resistensi dilakukan oleh figur resistensi yakni Raden Sukmakarto,
sedangkan prosesnya dimulai dengan mimikri. Raden Sukmakarto
melakukan mimikri dengan cara yang dalam pengertian Bhaba (1994)
hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya. Di satu pihak, mimikri yang
dilakukan oleh Raden Sukmakarto memproduksi sifat superioritas Eropa
(Belanda) secara terus-menerus dan sekaligus memproduksi inferioritas
pribumi, di lain pihak dapat dipahami sebagai olok-olok pribumi
terhadap eropa (Belanda) dengan menempatkan budaya eropa (Belanda)
sebagai produk budaya yang dapat ditiru dan dipermainkan. Mimikri
yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto dimotivasi oleh hasrat agar
mendapatkan kemajuan yang setara dengan Barat atau Eropa. Setelah
merasa setara, Raden Sukmakarto melakukan resistensi atau perlawanan,
dengan memanfaatkan talentanya dalam kesenian. Suaranya terdengar
merdu ketika menyani sehingga penajah tertarik mendengarnya. Namun,
kemampuan itu, dimanfaatkan sebagai bentuk perlawanan berupa
penghinaan terhadap lagu kebnagsaan Belanda. Sehingga tampak adanya
resistensi yang dilakukan pribumi terhadap penjajah. Resistensi juga
dilakukan dengan pengakuan Raden terhadap bangsa Belanda sebagai
bangsa yang tidak berbudaya karena penindasan yang diberikan
kepadanya, penghinaan Raden terhadap lagu kebangsaan Belanda, serta
penipuan Raden tetrhadap gubernur jenderal sehingga dirinya terbebas
dari hukuman mati yang mengancam dirinya, kemudian resistensi,
mengalahkan kedatangan rombongan pentas musik dan para pelukis negeri
Belanda yang datang dan mengadakan pameran di Gedung yang baru
diresmikan itu.
Daftar
Pustaka
Bhabha,
Homi. K. l994. The Location of Culture, London: Routledge
Endraswara,
Suwardi. 2011. Metodologi
Penelitian Sastra: Epistomologi, Model,
Teori, dan
Aplikasi.Yogyakarta:CAPS.
Faruk.
2007. Belenggu
Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______1998.
“Mimikri: Persoalan Post-Kolonial dalam Sastra Indonesia”.
Makalah Seminar Pada an International Research Workshop University
of Sydney.
Loomba,
Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme,
(Penerjemah Hartono
Hadikusumo. Judul
Asli colonialism,
postcolonialism
diterbitkan oleh Routledg Taylor di New York). Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Ratna,
Nyoman Kutha Ratna. Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Said,
Edward W. 2010. Orientalisme:
Menggugat Hegemoni Barat dan
Mendudukkan Timur
Sebagai Subjek,
(Penerjemah Achmad Fawaid. Judul Asli Orientalism
diterbitkan oleh Vintage Books di New York). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar