Hasrat Tokoh Hanafi dalam
Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
(Sebuah Tinjauan
Psikoanalisis Lacan)
Oleh
Jafar Lantowa
- Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil
cipta pengarang berdasarkan pengalaman dan pengamatan pengarang
terhadap persoalan kehidupan manusia. Berbagai persoalan yang sering
dihadapi manusia berupa persoalan cinta, persahabatan, kekecewaan,
kesedihan, kegelisahan, pernikahan, dan lain sebaginya yang
tampak melalui tingkah laku tokoh dalam karya sastra. Hal tersebut
sesuai pendapat Sastrowardoyo (dalam Tuloli, 2002:8), yang
mengemukakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan kaitannya
dengan kehidupan manusia. Berkaitan dengan pendapat tersebut, jelas
bahwa segala persoalan kehidupan manusia merupakan sumber inspirasi
pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra.
Novel adalah salah satu
bagian dari bentuk karya sastra yang merupakan jagad realita yang di
dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat
manusia (Siswantoro, 2005:29). Adapun
realita yang terjadi atau dialami manusia dalam novel adalah realita
sosial, realita psikologis, realita sosiologis, dan realita religius.
Secara spesifik realita psikologis, dapat dilihat pada kehadiran
fenomena kejiwaan tertentu yang dialami tokoh utama ketika merespon
atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Masalah
kepribadian merujuk pada apa yang dialami manusia yang berhubungan
dengan masalah psikis yang individual sifatnya dan membedakannya dari
individu yang lain. Dikatakan bahwa kepribadian adalah satu totalitas
dari disposisi-diposisi psikis manusia yang individual dan memberi
kemungkinan untuk memberi perbedaan ciri-ciri dengan yang lainnya.
Disposisi adalah kesediaan kecenderungan untuk bertingkah laku
tertentu yang sifatnya konstan dan terarah pada tujuan tertentu.
Indivudual adalah setiap manusia mempunyai kepribadiannya sendiri
yang khas dan tidak identik dengan orang lain (Kartono, 2005: 10).
Berbeda dengan Freud, Jacques Lacan percaya
identifikasi menstabilkan individu, tapi pada saat yang sama
menjauhkan diri individu dari dirinya sendiri. Ia mengatakan bahwa
Freud berangkat dari dorongan individual dan pemuasannya serta bahwa
ia mengabaikan dimensi sosial. Namun, menurut Lacan, hubungan subjek
dengan subjek, atau apa yang kita sebut intersubjektivitas, memang
telah ada sejak awal. (Sarup, 2011: 15).
Paradigma psikoanalisis Lacan memiliki
implikasi yang lebih jauh. Seperti halnya teori poststrukturalisme
yang dibangun dengan menemukan kelemahan-kelemahan strukturalisme,
psikoanalisis Lacan dibangun atas dasar kelemahan-kelemahan teori
Freud. Ketidaksadaran (unconsciousness) atau nirsadar
menempati posisi penting dalam bahasan psikoanalisis. Menurut Lacan,
ranah nirsadar adalah ranah terstruktur layaknya bahasa. Bahkan,
nirsadar hadir bersamaan dengan bahasa. Dengan kata lain, bahasa
menunjukkan alam bawah sadar (unconscious mind) seseorang.
Ditegaskan pula bahwa bahasa sebagai sistem pengungkapan tak pernah
mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Dalam
hal ini Lacan memandang adanya jalinan antara psikoanalisis dengan
linguistik.Seperti pendahulunya, Sigmund Freud, Lacan juga
menggunakan model tripatrie, yaitu Yang Simbolik (the
symbolic), Yang Imajiner (the imaginary), dan Yang
Nyata (the real). Dinyatakan pula oleh Lacan bahwa yang
menggerakkan kehidupan manusia di dunia ini adalah hasrat yang ada
dalam diri mereka. (Sarup,2011:31).
Dalam novel Salah Asuhan, tokoh Hanafi
mengalami rentang waktu kehidupannya dengan kekuatan hasratnya untuk
menjadi orang yang berbeda. Ia berusaha sedemikian kerasnya dalam
pembuktian dirinya sebagai seorang Hanafi Barat, meskipun budaya
Timur mau tak mau melekat dalam darahnya, Hanafi merasa bahwa ia
orang Belanda, perilakunya baik dalam sekolah, bergaul, maupun
berpakaian, semua menunjukkan bahwa ia memang orang Belanda. Timur
hanya dikenal sebagai bangsa yang tertinggal, dan tidak
berpendidikan.
Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis
hasrat tokoh Hanafi dalam novel Salah Asuhan dengan
menggunakan teori psikoanalisis Lacan. Pembahasan berkenaan dengan
hasrat sang tokoh dengan analisis nirsadar (arus bawah sadar) yang
merupakan keterkaitan antara kemunculan keinginan dan mekanisme
pertahanan untuk memperoleh obyek dari keinginan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah
di atas, maka rumusan masalah dalam analisis
ini adalah bagaimana hasrat tokoh Hanafi
dalam novel Salah Asuhan karya
Abdul Moeis?
- Landasan Teori
- Struktur pengalaman perkembangan manusia
Lacan mengemukakan bahwa pengalaman
perkembangan manusia ada pada tahap-tahap tertentu yakni yang nyata,
yang imajiner dan tahap simbolik. Imajiner adalah sejenis bentuk
preverbal yang logikanya bersifat visual-mendahului tahap simbolik
dalam tahap perekembangan psike anak. Momen pembentukannya disebut
“tahap cermin”. Pada tahap ini formasi ego yang memungkinkan anak
membedakan bentuknya sendiri dari bentuk orang lain belum terjadi.
Struktur imajiner merupakan dunia pra-Oedipal. Diri ingin menyatu
dengan apa yang ia persepsi sebagai Yang lain. Anak merancukan orang
lain sebagai bayangan cerminnya sendiri; dan karena diri terbentuk
dari kombinasi introyeksi yang didasarkan pada pengenalan diri yang
keliru, diri sulit membentuk personalitas yang utuh. Dengan kata
lain, kita mengalami diri yang sangat terpecah. (Sarup, 2011: 31.
Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan alieniasi.
Alieniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi
dan liyan. Bayi adalah yang selalu kalah. Alienasi pertama bayi
manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi diri yang
menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri.
Eagleton (2010: 238) mengatakan, saya telah
menggambarkan bagaimana bagi Freud, pada titik awal perkembangan
bayi, belum mungkin ada batasan yang jelas antara subjek dan objek.,
dirinya sendiri dan dunia luar. Keadaan inilah yang dinamai
Lacan’imajiner’, yang maksudnya sebuah kondisi di mana kita tidak
mempunyai pusat diri yang terdefinisi, di mana ‘diri’ yang kita
miliki tampaknya berpindah pada objek, dan objek berpindah padanya,
dalam sebuah pertukaran tertutup tanpa akhir.
Konsep struktur simbolik Lacanian merupakan
upaya menciptakan mediasi antara analisis libidinal dan kategori
linguistik. Dengan kata lain, untuk menyediakan skema transkode yang
memungkinkan kita membahas keduanya dalam kerangka konseptual yang
umum. Subjek ditentukan oleh bahasa . Ketidak sadaran Freudian
dilihat dari sudut pandang bahasa:”Ketidaksadaran adalah wacana
tentang Yang Lain-konsep yang cenderung mengejutkan mereka
mengasosiasikan bahasa dengan pikiran dan kesadaran..(Sarup,
2011:32).
Identitas sebagai subjek, ia mulai menyadari,
terdiri dari hubungan perbedaan dan kesamaannya dengan subjek-seubjek
lain di sekelilingnya. Dalam menerima semua ini, anak bergerak dari
lingkup imajiner ke arah apa yang disebut Lacan ‘tatanan simblis’:
struktur peran seksual dan sosial serta hubungan yang telah diberikan
sebelumnya, yang membangun keluarga dan masyarakat. Dalam istilah
Freud sendiri, anak telah berhasil menangani perjalanan yang
menyakitkan melalui kompleks Oedipus (Eagleton, 2010:242).
Struktur ketiga adalah yang nyata. Realitas
yang tidak pernah dapat kita ketahui adalah yang nyata- kenyataan ini
berada di luar bahasa…realitas yang harus kita asumsikan karena
tidak pernah kita ketahui. Struktur ini adalah struktur paling
problematic disbanding dua struktur yang lain karena tidak pernah
dapat dialami secara langsung, tetapi melalui mediasi dua struktur
yang lain: “Realitas, atau apa yang dipersepsi sebagai yang nyata,
adalah apa yang mutlak menolak proses simbolisasi. (Sarup, 2011: 33).
2. Hasrat Pada Hasrat
Hasrat adalah apa yang tidak dapat
dispesifikkan permintaan. Seorang anak menangis. Ibu memberinya
sebatang cokelat, namun anak itu tidak pernah tahu apakah tindakan
member cokelat ini merupakan ungkapan pemenuha kebutuhan atau tindak
cinta ibu. Lacan percaya bahwa tanggapan semacam itu memang dalam
dirinya sendiri ambigu. Dan karena tanggapan itu ambigu, permintaan
it uterus diualng-ulang…sampai tidak terbatas (ad infinitum).
(Sarup, 2011: 24).
Mungkin, orang terus-menerus membuat
permintaan, meskipun mereka tidak menyadarinya. Permintaan merupakan
sarana mengungkapkan hasrat, meskipun tidak langsung. Hasrat adalah
hasrat pada orang lain, yang harus ditafsirkan. Lacan menyatakan
bahwa kebutuhan dibatalkan permintaan yang muncul kembali di bagian
lain hasrat kita. Kita sering menginginkan objek yang hanya dapat
diberikan kepada kita, masalahnya objek semacam itu tidak ada.
Permintaan muncul untuk mendapatkan tanggapan, namun tanggapan itu
tidak pernah partikulatr (khusus, spesifik). Kita tidak pernah yakin
seratus persen apakah orang lain mencintai kita karena partikularitas
kita yang unik (Sarup, 2011:25).
Semua hasrat muncul dari sebuah ketiadaan,
yang secara berkelanjutan coba dipenuhi olehnya. Bahasa manusia
bekerja melalui ketiadaan tersebut: ketidakhadiran objek nyata yang
dimaknai oleh tanda, fakta bahwa kata memiliki makna hanya melalui
ketidakhadiran dan penyisihan kata lain. Maka memasuki bahasa berarti
menjadi mangsa hasrat: bahasa, ujar, Lacan, adalah ‘apa yang
mengikis sesuatu hingga menjadi hasrat’. Bahasa
membagi-bagi-mengartikulasikan-sifat penuh dari imajiner:kita kini
takkan pernah berhenti di objek tunggal, maka tunggal, yang akan
menjelaskan semua makna lain. Memasuki bahasa berarti terputus dari
apa yang disebut Lacan sebagai hal yang ‘nyata’, area yang tidak
dapat dimasuki dan selalu di luar jangkauan signifikasi, selalu di
luar tatanan simbolis (Eagleton, 2010: 243).
D. Pembahasan
1. Hasrat Tokoh Hanafi dalam Novel Salah
Asuhan Karya Abdoel Moeis
Diri atau identitas diri seorang Hanafi merupakan konsep imajiner
tentang dirinya yang utuh. Menurut Lacan, ego Hanafi adalah liyan,
yaitu bukan diri Hanafi sebenarnya, melainkan seorang Hanafi Eropa.
Tindak laku seperti orang Eropa yang melekat pada dirinya. Keengganan
Hanafi menjadi orang Timur tampak sekali dalam kutipan di bawah ini:
“…Hanafi
sendiri benci pada bangsanya, bumiputra. Pelajarannya, tingkah
lakunya, perasaannya, semua sudah menurut cara Barat…”(Moeis,
2009:33).
Ke-Baratan Hanafi ditunjukkan oleh luapan emosinya yang luar biasa.
Pertama, ketika ia meninggalkan Solok dengan kelegaan.
“Dalam
hatinya, Hanafi sebenarnya girang bahwa sudah terpaksa berangkat ke
Betawi. Udara di rumah (Solok) memang kurang nyaman dan di Betawi ada
Corrie”. (Moeis, 2009:33).
Hasrat Hanafi ditunjukkan ketika ia sangat membenci ketimuran,
padahal ia telah lama tinggal bersama keluarga Belanda. Hanafi
membenci menjadi orang timur. Sebagai keturunan Timur ia seharusnya
tertandai dengan karakter ketimurannya. Kenyataannya, dengan sekolah
di lingkungan Belanda membuat Hanafi lebih merasa menjadi orang
Belanda daripada seorang Timur. Perkembangan dirinya pun diwarnai
budaya Belanda. Ia hidup dengan cara Belanda dengan menyukai gaya
hidup, makanan, dan bahkan pergaulan Belanda. Hal tersebut tampak
pada kutipan berikut.
“Maka tiadalah ia segan-segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah
sewaan di Solok itu secara dikehendaki oleh anaknya. Hanafi berkat,
bahwa ia dari kecilnya hidup di orang Belanda saja; jadi tidak
senanglah hatinya, jika aturan mengisi rumahnya tidak mengarah-arah
itu pula.”
“Tapi sepanjang hari orang tua itu termangu-mangu saja, karena dari
beranda muka sampai ke dapur dan kamar mandi diperbuat secara aturan
orang Belanda.”
“Di rumah gedang, di Kota Anau, tentu boleh duduk menabur lantai
sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda
saja”.
“Makin lama makin bimbanglah hatinya melihat anak yang
kebelanda-belandaanitu. Pakaiannya cara Belanda, pergaulannya dengan
orang Belanda saja, Jika ia berbahasa Melayu, meskipun dengan ibunya
sendiri, maka dipergunakan bahasa Riau dan kepada orang di bawahnya
ia berbahasa cara orang Betawi. Begitupun juga sebagai
dipatah-patahkannya lidahnya dalam bahasa sendiri.”
“Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi
segala yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan.
Segala hal ihwal yang berhubungan dengan orang Melayu dicatat dan
dicemoohkannya, sampai kepada adat lembaga orang Melayu dan agama
Islam tidak mendapat perindahan serambut juga. Adat lembaga
disebutkan ‘kuno’ , agam Islam ‘takhyul’. Tidak heran, kalau
ia hidup tersisih benar dari pergaulan orang Melayu,. Hanyalah kepada
ibunya ada melekat hatinya”.
“Acap kali benar ia berkata, terutama kepada orang Belanda ‘bahwa
negeri Minangkabau sungguh indah, hanya saying sekali penduduknya si
Minangkabau.’ Tapi\’, katanya pula, ‘seindah-indahnya negeri
ini, bila tidak ada ibuku, niscaya sudah lamalah kutinggalkan”.
(Moeis, 2009: 23-24).
Dalam teori Lacan dikatakan bahwa tahap yang nyata tidak akan pernah
dicapai. Dalam tataran ini need bertengger dan merupakan
sebuah keadaan di mana seseorang tidak mampu membedakan antara
dirinya dengan liyan. Ini dikarenakan seseorang merasa tanpa
kekurangan. Inilah yang dialami Hanafi, ia menginginkan menjadi
seorang Belanda dan menjadi yang nyata dari tataran perkembangan
kepribadian menurut Lacan. Seiring dengan apa yang dikatakan Lacan
mengenai ego, kepribadian atau identitas Hanafi tidak pernah utuh
seperti yang ia hasratkan.
Pada gilirannya, tataran yang imajiner berperan menyokong permintaan
Hanafi akan identitas yang dihasratkannya sebagai pemenuhan need.
Peristiwa dalam fase cermin yang menjelmakan alieniasi di mana Hanafi
(bayi) didominasi/kalah oleh liyan. Citra ke-Belanda-an yang melekat
pada diri Hanafi merupakan alieniasi karena terjadi kesalahan
mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya
sendiri. Pada prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu
yang senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut
merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan saat pertama
kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa.
Tataran yang bersinggungan dengan kehadiran bahasa adalah tataran
Yang Simbolik. Hanafi mengalami momen kehilangan dan kebutuhan akan
identitas dan keadaan seperti itulah ia berada dalam tataran Yang
Simbolik. Hanafi sebagai subjek dikatakan tidak utuh melalui apa-apa
yang diucapkannya. Ini berarti ego Hanafi terbelah karena
keterpisahannya dengan sosok yang terpantul dalam cermin dalam
tataran Yang Imajiner, Hanafi si orang Belanda.
Menurut Lacan, penanda diperlihatkan dalam hasrat Hanafi ingin
menjadi seorang Eropa. Objek atau petanda adalah konsekuensi dari
kehadiran sebuah penanda dan di sini petanda itu tidak ada karena
secara fisik Hanafi adalah kultur Timur yang lekat-lekat tak akan
terpisah dari daging kulitnya sebagai keturunan Timur. Seorang Eropa
tidaklah memiliki struktur fisik sepertinya. Maka yang terjadi adalah
pembelokan petanda. Naluri mengarahkannya untuk bersikap dan bercara
hidup, bergaul, dan berpikir ala Eropa, sebagai petanda alih. Dengan
demikian, Hanafi berada dalam kondisi pemenuhan keinginan untuk
menjadi seorang Bangsa Eropa hanya bisa dilaksanakan jika ia
berperilaku sebagaimana orang Eropa sebagai obyek pemenuhan.
Tokoh Hanafi dalam novel ini digambarkan menempuh cara-cara tertentu
untuk memenuhi hasratnya untuk menjadi penduduk Bangsa Eropa. Ia
memulai dengan mengganti namanya dengan ‘Cristian Han”agar tampak
lebih Eropa karena bisa dipendekkan menjadi ‘Han”’. Menata
rumah dengan cara Eropa, hanya bergaul dengan orang-orang Eropa,
serta hanya ingin menikah dengan gadis keturunan bangsa Eropa yakni
Corrie. Tentu saja dengan melakukan hal tersebut membuat hasratnya
terpenuhi walaupun tidak secara nyata Hanafi adalah penduduk asli
dari Bangsa Eropa.
Petanda alih bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala
Eropa oleh Hanafi akan memberi keleluasaan bagi Hanafi untuk meraih
hasratnya menjadi orang Eropa. Hubungan penanda ke-Eropa-an dan
petanda bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Eropa
dapat dipahami dalam tataran yang simbolik, yaitu melalui hubungan
paradigmatik dengan konsep metafora.
Citraan Hanafi sebagai seorang Eropa adalah hasil identifikasi dalam
tataran yang imajiner yang kemudian mengalami represi. Dalam tataran
Yang Simbolik citraan tersebut dialihkan ke petanda aksi penggantian
nama. Ini merupakan simbol/metafor dari hasil identifikasi tokoh
citraan Hanafi Eropa bagi Hanafi yang Ketimuran.
Ke-Eropa-an Hanafi mengantarnya pada suatu hasrat menjadi yang
melahirkan perilaku narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat cukup
jelas dengan gaya hidupnya yang banyak merujuk pada style
menjadi Hanafi Eropa. Dengan demikian penanda utama ke-Eropaan Hanafi
ada pada ego Hanafi yang direpresentasikan melalui petanda-petanda.
Dalam novel ini, hasrat Hanafi untuk menjadi Hanafi Eropa
mengantarkannya pada sebuah fantasi. Fantasi Hanafi itu merupakan apa
yang tersisa dari represi tataran Yang Simbolik. Karena letak fantasi
itu berada pada tataran Yang Nyata, maka Hanafi tidak akan pernah
meraihnya.
Fantasi Hanafi tersebut merupakan obyek yang berharga yang bernaung
dalam tataran Yang Nyata. Hanafi telah mengalami proses identifikasi
pada penanda utama, yaitu Hanafi Eropa dan demi struktur dan
interpelasi penanda tersebut serta kenyamanan eksistensial, ia
benar-benar berperilaku layaknya seorang Eropa.
Seiring waktu, represi atau larangan-larangan menjadi semakin kuat
dan tampaknya sangat berpengaruh pada ego Hanafi. Larangan-larangan
tersebut muncul dalam bentuk berbagai peristiwa di dalam kehidupan
Hanafi. Pertama, ketika ia membandingkan kedekatannya dengan keluarga
Eropa dengan keluarganya sendiri, ia menemukan bahwa ia seperti bukan
bagian dari keluarga Eropa, sebagaimana yang dirasakannya. Hal
tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Hanafi sudah berasa dirinya masuk golongan orang Barat, oleh
karena itudiharapnya akan mendapat pergaulan dari pihak itu. Tapi
pengharapan itu pun sia-sia, karena sekalipun kenalannya di kantor,
baik yang beristri maupun hidup yang membujang, hanya mengenalnya di
jalan saja. (Moeis: 2009:154).
Dalam fantasi Hanafi, ada kenikmatan yang dikorbankan yaitu bagaimana
ia telah berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sosok Hanafi Eropa
melalui tindakan-tindakannya. Ia mengalami masa-masa ‘menyenangkan’
sebagai sosok Han. Pemenuhan hasrat Hanafi dalam wujud diri Han atau
Hanafi Eropa adalah ilusi dari ego Hanafi karena ia tidak akan pernah
mencapai hasrat dalam tataran Yang Nyata tersebut. Pengalihan atau
pembelokan petanda memperlihatkan upaya untuk mencapai Yang Nyata. Ia
berusaha menjaga struktur idola Hanafi Eropa itu dan klimaksnya ia
harus ‘terkoyak’ dengan ‘keanehan-keanehan’ dalam konsep
‘ke-Eropaan’ melalui ketidaknyaman berhubungan dengan temannya
bangsa Eropa pada akhirnya, perceraian istrinya, dan kematian
istrinya. Alhasil, hasrat Hanafi untuk menjadi Hanafi Eropa memang
tidak pernah tercapai.
E.
Penutup
Hasrat akhirnya menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan
seseorang. Dalam psikoanalisis Lacan ia berdiam dalam tataran Yang
Simbolik, di mana kehilangan atau terlepasnya sesuatu yang ideal
akibat turut campurnya unsur bahasa. Yang ideal tidak dapat diraih
karena berada di tataran Yang Nyata sehingga dalam tataran Yang
Simbolik keinginan untuk merengkuh yang ideal tadi terbatas pada
bahasa.
Tokoh Hanafi memiliki hasrat yang masing-masing tidak pernah bisa
meraihnya dalam tataran Yang Nyata. Hasrat tokoh Hanafi ini terlihat
sebagai dua macam yang terdiri dari hasrat untuk menjadi dan hasrat
untuk memiliki. Keengganan Hanafi terhadap budaya Timur mengakibatkan
dirinya tercebur dalam hasratnya menjadi Hanafi Eropa.
Sehubungan dengan relasi penanda dan petanda, penanda utama ada pada
Hanafi Eropa yang direpresentasikan melalui petanda-petanda.
Petanda-petanda tersebut ada yang dialihkan sehingga menjadi penanda
alih yang akhirnya diikuti oleh petanda-petanda lain dalam hubungan
paradigmatik dan sintagmatik yang terwakili oleh konsep metaforik dan
metonimi. Hasrat untuk memiliki Hanafi adalah kelanjutan dari hasrat
untuk menjadi. Hanafi ingin memiliki apa yang seorang Eropa punya.
Hanya saja keinginannya itu mengalami bentuk represi dan terjadilah
pembelokan ke arah perilaku ke-Eropaan, seperti cara pakaian ala
Eropa, hanya ingin bergaul dengan orang Eropa dan bahkan membenci
bangsanya sendiri.
Daftar Pustaka
Eagleton. Terry. 2010. Teori Sastra: Sebuah
Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Faruk. 2008. Pascastrukturalisme: Teori,
Implikasi, Metodologi, dan Contoh Analisis.
Jakarta: Pusat Bahasa
Moeis, Abdoel. 2009. Salah Asuhan.
Jakarta: Balai Pustaka.
Sarup. Madan. 2011. Postrukturalisme dan
Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra
Siswantoro. 2005. Metode
Penelitian Sastra: Analisis Psikologis.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Tuloli, Nani. 2000. Teori
Fiksi. Gorontalo:
Nurul Jannah
maaf, kalu boleh tau, anda dari universitas mana?
BalasHapus5 Ways to Make a Medical Grade Tintin Earrings
BalasHapusA professional bodybuilder is is titanium lighter than aluminum always looking for great quality luxury options. He's always looking titanium i phone case for titanium wedding bands quality, mens titanium necklace quality and quality titanium key ring products