Minggu, 23 Oktober 2011

TUGAS REVIEW

KRITIK SASTRA HUMANIS PADA KRITIK SASTRA H.B JASSIN MENGENAI DRAMA-DRAMA EL HAKIM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat dan paradigma dalam ilmu sastra yang diampuh oleh Prof. Dr. Faruk, H.T


OLEH:
JAFAR LANTOWA
(11/322953/PSA/02438)










PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011






 
TUGAS
REVIEW KRITIK SASTRA HUMANIS PADA KRITIK SASTRA H.B JASSIN
                                                                             oleh
JAFAR LANTOWA
(11/322953/PSA/02438)

Dalam tulisan ini, mengulas kembali uraian kritik sastra Humanis yang ditulis oleh Prof. Dr. Faruq, H.T dalam BULAK Jurnal Sosial dan Budaya UGM dan menerapkan kritik sastra humanis pada salah satu kritik sastra H.B Jassin mengenai beberapa drama El Hakim yang terdapat pada buku kritik sastra Indonesia H.B Jassin.
Kritik sastra humanis adalah kritik sastra yang melakukan pemahaman dan penilaian terhadap karya sastra atas dasar satu pandangan dunia yang menempatkan manusis sebagai pusat dunia, sebagai asal dan sekaligus tujuan dari segala proses kehidupan berlangsung di dunia, baik kehidupan manusiawi maupun alamiah.
Kritik sastra humanis itu merupakan bagaian dari formasi diskursif yang lahir dan berkembang sejak awal abad XVI. Perjuangan kritik sastra ini adalah menemukan kembali manusia sebagai makhluk yang bermartabat, sekaligus sebagai subjek yang mandiri, dan sekaligus sebagai kekuatan yang formatif-determinatif terhadap lingkungan sekitarnya. Humanisme merupakan fase awal dari modernisme. Fase keduanya adalah pencerahan yang juga merupakan formasi diskursif yang terarah pada pembentukan subjek. Subjektivitas manusia dipahami sebagai kemampuan manusia itu untuk berpikir rasional dengan cara membebaskan diri dari segala bentuk prasangka, terutama segala pengaruh mitos dan alam pemikiran manusia.
Romantisme yang merupakan paham yang berpengaruh kuat dan bahkan hidup dan berkembang di lingkungan seniman dan sastrawan juga merupakan formasi diskursif humanis. Dalam kasus kesenian dan kesustraan roh tersebut adalah subjektifitas seniman dan sastrawannya. Kritik sastra yang berkembang antara lain adalah kritik sastra yang berusaha menemukan diri sastrawan sebagai asal dan tujuan dari karya-karya sastranya.
Abrams juga menyebut adanya jenis-jenis kritik sastra yang lain, yaitu kritik sastra ekspresif, kritik sastra mimetik, kritik sastra objektif, dan kritik sastra yang menimbang karya sastra dari segi kemungkinan pengaruh atau efeknya terhadap pembacaatau disebut kritik sastra pragmatik. Namun, sesungguhnya berbagai kritik tersebut, secara paradigmatik, bisa ditempatkan dalam satu kategori dengan krtik sastra ekspresif. Semuanya merupakan kritik sastra humanis yang diarahkan dan dikerahkan untuk membangun subjektivitas manusia.
Menjadikan dunia objektif menjadi subjektif, mengemansipasikan yang tidak berdaya menjadi berdaya, analog dengan membuat yang mati menjadi hidup atau menghidupkan dunia objek yang mati. Hidup, dengan demikian merupakan salah satu kunci dan kritik sastra humanis.
Bagian awal H.B Jassin menguraikan mengenai pengarangnya yakni Dr. Abu Hanifah yang memakai nama samaran El Hakim. Abu Hanifah adalah adalah abang kandung Usmar Ismail. Dan boleh diktakan bahwa jiwa Usmar Ismail adalah ahsil asuhan dan didikan Abu Hanifah. Ada usaha Usmar melepaskan diri kemudian, tapi ini hanya mengenai perbedaan pandangan tentang adat-istiadat. Pada umumnya keduanya punya visi yang sama mengenai ketuhanan dan perjuangan kebangsaan.
Di Masa Jepang, Abu Hanifah punya praktek sendiri dan beliau giat pula dalam gerakan politik dan sosial dan terutama gerakan pemuda. Sebelum perang beliau pernah bekerja sebagai dokter di Sumatra Tengah dan kemudian sebagai dokter kapal berpangkat opsir. Pengalaman-pengalamannya sebagai dokter di hutan-hutan Sumatra Tengah, yang bisa dibaca dalam romannya Dokter Rimbu yang diterbitkan oleh Penerbitan dan Balai Buku Indonesia (1952), yaitu ”kisah seorang dokter muda bangsa Indonesia yang bercita-cita tinggi dan terjun ke dalam pekerjaan kedokteran di rimba dan masyarakatnya. Diceritakan betapa sukarnya perjuangan di tengah-tengah masyarakat yang bertentangan, oleh karena masyarakat rimba ini adalah masyarakat perkebunan pasar, masyarakat kapital, masyarakat penduduk yang terbelakang dalam segala hal dan juga masyarakat adat-istiadat yang sangat kolot.
Buku-bukunya yang lain ialah Rintisan Filsafat I (BP 1947), dalam mana ”Filsafat Barat ditilik dengan Jiwa Timur”, Kita berjuang (Merdeka Press 1947), Soal Agama dalam Negara Modern (Tinta Mas, Jakarta, 1949), dan lain-lain. Drama-drama Abu Hanifah atau El Hakim yang dikumpulkan oleh Balai Pustaka dalam Taufan di Atas Asia, yakni: ”Taufan di Atas Asia” (sandiwara 4 bagian, dipersembahkan kepada ”Angkatan Muda”), ”Intelek Istimewa” (drama dalam tiga babak), dan ”Insan Kamil” (drama dalam tiga babak). Semua drama ini ditulis waktu pendudukan Jepang dan telah berkali-kali dipertunjukkan oleh Maya. Di waktu revolusi, Abu Hanifah tidak tinggal diam pula dan mengarang dua drama lagi, yakni ”Rogaya” (drama empat babak) dan ”Bambang Laut” (drama tiga babak).
Semenjak Pujangga Baru ramai diperdebatkan soal Timur dan Barat, dan ditinjau dalam hubungan ini, Abu Hanifah waktu menulis darama-dramanya di waktu pendudukan Jepang, masih dikuasai pikiran ini. Dan lebih jauh lagi sampailah kita pada pandangan hidup generasi menyebut dirinya angkatan 45, dengan pelopornya Chairil Anwar yang hanya mengakui Manusia dalam arti universal dan tidak hidup lagi dalam pertentangan pikiran Timur-Barat.
Perlu diterangkan bahwa sesudah melawan Amerika dan Eropa, Abu Hanifah rupanya telah berubah pandangannya yang sbelumnya begitu radikal, yakni bahwa Barat itu (maksudnya Eropa dan Amerika) materialistis dan Timur idealistis. Di masa kemudian beliau dengan tegas mengakui bahwa Amerika dan Eropa juga idealistis dan teringatlah beliau pada hidup kesenian dan kebudayaan di kedua benua tersebut.
Adapun jalan pikiran Abu Hanifah sebelum berubah demikian, berdasarkan drama-dramanya di masa pendudukan Jepang. Dalam pertumbuhannya, pada umumnya bangsa-bangsa Timur merasa bahwa mereka perlu dari Barat teknik modernya dengan tidak melepaskan semua anasir-anasir ketimurannya. Lebih-lebih di mana Barat dengan kecerdasan otaknya yang sangat jauh, seolah menghadapi keruntuhannya dan mencari jiwa idealisme kembali, bangsa-bangsa Timur terlebih-lebih lagi cenderung hendak berpegang pada harga dasar Timurnya dalam mengejar terus apa yang dirasanya baik diambil dari Barat.
Pikiran serupa itu juga yang terdapat dalam karangan-karangan sandiwara El Hakim, yakni hasil dan bayangan cita-cita dan pandangan Abu Hanifah tentang bagaimana seharusnya manusia Asia, dalam hal ini manusia Indonesia, pikiran-pikiran yang sudah lebih dulu diletakannya dalam buku Rintisan Filsafat, yang menerangkan dalam garis-garis besar perbedaan dan pertentangan antara filsafat naturalisme dan idealisme, di mana dia dengan tegas mengemukakan dan memilih idealisme buat Indonesia.
Dalam kritik sastra Humanis yang merupakan yang membangun subjektivitas manusia melalui pandangan pengarangnya, maka dalam drama El Hakim yang memandang manusia sebagai manusia kolektivitas dan cenderung dipahami sebagai individu dalam konteks tertentu serta kritik sastra yang berusaha membebaskan manusia dari ”belenggu” sehingga menemukan kembali manusia sebagai makhluk bermartabat, sebagai subjek yang mandiri, Dalam drama El Hakim, kritik sastra Humanis tampak pada pengarang yang memandang bagaimana seharunya manusia Indonesia yang melepaskan diri dari tekanan-tekanan Eropa dan Amerika serta pengarangnya yang memilih idealisme buat Indonesia. Hal tersebut tampak pada beberapa kritik H.B Jassin yang terdapat dalam beberapa drama El Hakim, yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam ”Taufan di Atas Asia” yang bermain di dua kota (Jakarta dan Singapura) dilukiskan suasana tatkala Perang Asia Raya akan meletus. Cerita berputar pada seorang pemimpin kantor dagang dan nasionalis, Drs. Abdul Azas, yang membuka perusahaan di Singapura dan menyuruh istrinya pulang duluan ke Jakarta, berhubung dengan kegentingan yang meliputi udara pasifik. Dalam percakapan-percakapan antara pemimpin-pemimpin peregerakan Indonesia, penganjuran persatuan kaum kaum nasionalis dan umat Islam dan cita-cita ke-Asia-an di kota internasional Singapura, kita dengar dari pergaulan kawan-kawan secita-cita Abdul Azas dari Indonesia, Cheong Fung dan Lee Moy dari Tiongkok, dan Sardar Khan dari India.
Musik Beethoven atau Pastorole opus 68” tertulis dalam keterangan antara tanda kurung. Mengapa bukan lagu Arab atau Pasri, bahkan India, atau, salah satu negeri Timur yang lain? Di sini pun kelihatan keinginan akan sintese Timur dan Barat. Dan lagi di mana manusia telah naik meninggi melepaskan diri dari hawa nafsu, di sana tidak ada lagi Barat dan Timur. Di sana hanya ada Harmoni.
Tentang sintese Barat dan Timur dikemukakan bahwa orang Indonesia harus ”berilmu secara Barat, tetapi berjiwa Timur”. Ilmu pengetahuan harus kita terima, malahan kita berikhtiar selekas mungkin mengejar ketinggalan kita dalam ilmu pengetahuan”.”Bagi kita anak Indonesia, anak Timur, yang penting ialah pertama: Agama Islam jadi darah daging bangsa Indonesia, itu berarti lebih dari 50 milyun bangsa Indonesia beragama Islam”. Ibu Indonesia ialah ibu pendidik dan ibu pencinta bangsa.” Demikian beberapa pokok pirian yang dikemukakan dalam”Dewi Reni”.
Drama yang kedua dalam kumpulan Taufan di Atas Asia ialah “Intelek Istimewa”, terdiri dari tiga bagian.
Dalam “Intelek Istimewa” dilakonkan seorang dokter (Dr.Taha Kamil) yang bersemboyan: Pengetahuan ialah kekuasaan. Siapa yang berilmu, mudah mencari uang dan uang berarti kekuasaan. Kekuasaan dalam segala lapangan. Terhadap perjuangan Bangsa, Dr. Taha tidak mau turut campur, sebab menurut anggapannya, seorang dokter harus hanya memikirkan rumah sakit dan penyakit dan jika ia dalam hal pengobatan bias mencapai hasil-hasil mengagumkan, ia akan dengan sendirinya mengangkat derajat bangsa di mata bangsa asing. Nasihatnya pada Susilo, keponakannya yang hamper jadi Dokter: Jangan sekali-kali mau seperti beberapa teman sejawatmu yang serba susah kedudukannya, karena campur dalam politik atau dunia social atau lain-lain, “Kita kaum dokter, kaum intelek istimewa, harus mempertahankan golongan sendiri.” Diejeknya orang yang percaya pada Tuhan. “Lebih baik lagi kalau kita berikhtiar sendiri,” katanya pada manterinya,”dengan otak sendiri, tenaga sendiri, mengambil rezeki dan hak kita sendiri di mana bias.”
Anggapan-anggapannya yang materialistis menjadikan ia bentrokan dengan orang-orang sekitarnya. Nyi Sundari, istri rahasianya yang dimanjakannya dengan uang, ketika akan dapat anak dari padanya, dating menagih cinta kasihnya yang sebenarnya buat bakal anaknya yang masih dalam kandungan, cinta kasih yang tidak dikenal oleh materialistis dokter Taha Kamil. Kedua anaknya yang masih gadis, Sutarti dan Sulasmi, hendak meninggalkannya, karena tidak mendapatkan dari padanya kasih seorang ayah dan mereka tidak bias pula membaktikan kasihnya sebagai anak pada ayahnya yang tidak mau mengerti.
Tapi fajar keinsyafan menyingsing dari perkataan putus asa: “Aku sudah tua, siapa yang akan menjaga akau? Kamu tidak kasihan padaku. Aku kan bapakmu? Dan buat siapa aku bekerja lagi pada waktu ini kalau tidak buat kamu berdua?” Semua kamu mencari bahagia, mencari kasih, Sutarti, Sulasmi, dan begitu juga Susilo. Benrkah begitu besar harga kasih itu?”. “Seperti mulai turun bintangku, seperti salah tujuan hidupku. Seperti angan-angan hidup belaka yang tak ada faedahnya. Seperti akan mengejar bintang yang jauh, sedangkan rumahku runtuh di bawah kakiku”.
Demikian El Hakim akhirnya melukiskan Dr. Taha Kamil sebagai orang yang merasa berdosa dan hendak menebus dosanya dengan mengabdikan diri pada masyarakat.
Drama ketiga dalam kumpulan Taufan di Atas Asia ialah “Dewi Reni”, terdiri atas tiga babak.
Drama “Dewi Reni” ini dipertunjukkan beberapa kali oleh sandiwara penggemar Maya dalam masa akhir pendudukan Jepang, sebagai menyambut janji Indonesia Merdeka “Kelak di kemudian hari”. Oleh isinya yang bertendensi berat pada kebesaran Indonesia dan coraknya yang bersifat keagamaan, yang mungkin akan mengembalikan bangsa Indonesia pada kepribadiannya sendiri, hingga membahayakan cita-cita Jepang yang hendak menipponkan Indonesia, maka tonil ini tertahan beberapa lama dan hamper-hampir tidak lolos dari sensur. Agaknya kekalahan-kelahan Jepang pada beberapa bulan sebelum jatuhnya, melemahkan pula pertimbangan sensur untuk menahan tonil ini. Akhirnya memang dilepaskan juga; boleh jadi dengan pertimbangan bahwa dengan cara ini mungkin masih bias tergolong perangnya, berkat tekad bangsa Indonesia sebagai bangsa mempertahankan tanah airnya.
Dalam tonil ini, Dewi Reni adalah perlambang Indonesia dan orang-orang sekelilingnya, yakni beberapa golongan yang mencintainya. Harlono perlambang para seniman Indonesia yang mula-mula seolah kehilangan pegangan, tapi kemudian mencari jalan dan dapat tempat tumpuan kembali, yakni agama dan kebangsaan, Ukar Sumodikromo perlambang para pedagang Indonesia, Chalid Walid angkatan muda Indonesia, semuanya berlomba-lomba hendak membaktikan tenaga pada kekasih Indonesia, Dewi Reni. Sedang Ki Alwi mewakili tenaga gaib yang mengarahkan segalanya untuk kebaikan Indonesia, yakni pujangga dan filosof yang memberi perjuangan Indonesia isi keagamaan dan ketuhanan.
Satu lagi drama Abu Hanifah ialah “Insan Kamil”, lukisan pergaulan modern pemuda-pemuda yang bebas, tapi tetap berdasarkan kesusilaan dan uraian jiwa pemuda dan pemudi soal percintaan.
Dari uraian di atas jelas bahwa kritik sastra Humanis pada kritik sastra H.B Jassin mengenai drama-drama El Hakim terlihat adanya eksistensi manusia dalam hal ini masyarakat Indonesia yang berjuang demi memperjuangkan bangsa Indonesia sebagai Negara yang berkembang dan terlepas dari kekuasaan Barat. Hal tersebut tampak pada pandangan pengarang yakni Dr. Abu Hanifah atau El Hakim mengenai idealism untuk berpegang pada harga dasar timurnya, satu kata kunci yang diungkapkan pada salah satu dramanya “Orang Indonesia harus “berilmu secara Barat, tetapi berjiwa timur”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar