Kamis, 10 November 2011


Hasrat Tokoh Hanafi dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
(Sebuah Tinjauan Psikoanalisis Lacan)
Oleh
Jafar Lantowa

  1. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil cipta pengarang berdasarkan pengalaman dan pengamatan pengarang terhadap persoalan kehidupan manusia. Berbagai persoalan yang sering dihadapi manusia berupa persoalan cinta, persahabatan, kekecewaan, kesedihan, kegelisahan, pernikahan, dan lain sebaginya yang tampak melalui tingkah laku tokoh dalam karya sastra. Hal tersebut sesuai pendapat Sastrowardoyo (dalam Tuloli, 2002:8), yang mengemukakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kehidupan manusia. Berkaitan dengan pendapat tersebut, jelas bahwa segala persoalan kehidupan manusia merupakan sumber inspirasi pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra.
Novel adalah salah satu bagian dari bentuk karya sastra yang merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (Siswantoro, 2005:29). Adapun realita yang terjadi atau dialami manusia dalam novel adalah realita sosial, realita psikologis, realita sosiologis, dan realita religius. Secara spesifik realita psikologis, dapat dilihat pada kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami tokoh utama ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Masalah kepribadian merujuk pada apa yang dialami manusia yang berhubungan dengan masalah psikis yang individual sifatnya dan membedakannya dari individu yang lain. Dikatakan bahwa kepribadian adalah satu totalitas dari disposisi-diposisi psikis manusia yang individual dan memberi kemungkinan untuk memberi perbedaan ciri-ciri dengan yang lainnya. Disposisi adalah kesediaan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu yang sifatnya konstan dan terarah pada tujuan tertentu. Indivudual adalah setiap manusia mempunyai kepribadiannya sendiri yang khas dan tidak identik dengan orang lain (Kartono, 2005: 10).
Berbeda dengan Freud, Jacques Lacan percaya identifikasi menstabilkan individu, tapi pada saat yang sama menjauhkan diri individu dari dirinya sendiri. Ia mengatakan bahwa Freud berangkat dari dorongan individual dan pemuasannya serta bahwa ia mengabaikan dimensi sosial. Namun, menurut Lacan, hubungan subjek dengan subjek, atau apa yang kita sebut intersubjektivitas, memang telah ada sejak awal. (Sarup, 2011: 15).
Paradigma psikoanalisis Lacan memiliki implikasi yang lebih jauh. Seperti halnya teori poststrukturalisme yang dibangun dengan menemukan kelemahan-kelemahan strukturalisme, psikoanalisis Lacan dibangun atas dasar kelemahan-kelemahan teori Freud. Ketidaksadaran (unconsciousness) atau nirsadar menempati posisi penting dalam bahasan psikoanalisis. Menurut Lacan, ranah nirsadar adalah ranah terstruktur layaknya bahasa. Bahkan, nirsadar hadir bersamaan dengan bahasa. Dengan kata lain, bahasa menunjukkan alam bawah sadar (unconscious mind) seseorang. Ditegaskan pula bahwa bahasa sebagai sistem pengungkapan tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Dalam hal ini Lacan memandang adanya jalinan antara psikoanalisis dengan linguistik.Seperti pendahulunya, Sigmund Freud, Lacan juga menggunakan model tripatrie, yaitu Yang Simbolik (the symbolic), Yang Imajiner (the imaginary), dan Yang Nyata (the real). Dinyatakan pula oleh Lacan bahwa yang menggerakkan kehidupan manusia di dunia ini adalah hasrat yang ada dalam diri mereka. (Sarup,2011:31).
Dalam novel Salah Asuhan, tokoh Hanafi mengalami rentang waktu kehidupannya dengan kekuatan hasratnya untuk menjadi orang yang berbeda. Ia berusaha sedemikian kerasnya dalam pembuktian dirinya sebagai seorang Hanafi Barat, meskipun budaya Timur mau tak mau melekat dalam darahnya, Hanafi merasa bahwa ia orang Belanda, perilakunya baik dalam sekolah, bergaul, maupun berpakaian, semua menunjukkan bahwa ia memang orang Belanda. Timur hanya dikenal sebagai bangsa yang tertinggal, dan tidak berpendidikan.
Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis hasrat tokoh Hanafi dalam novel Salah Asuhan dengan menggunakan teori psikoanalisis Lacan. Pembahasan berkenaan dengan hasrat sang tokoh dengan analisis nirsadar (arus bawah sadar) yang merupakan keterkaitan antara kemunculan keinginan dan mekanisme pertahanan untuk memperoleh obyek dari keinginan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam analisis ini adalah bagaimana hasrat tokoh Hanafi dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis?

  1. Landasan Teori
  1. Struktur pengalaman perkembangan manusia
Lacan mengemukakan bahwa pengalaman perkembangan manusia ada pada tahap-tahap tertentu yakni yang nyata, yang imajiner dan tahap simbolik. Imajiner adalah sejenis bentuk preverbal yang logikanya bersifat visual-mendahului tahap simbolik dalam tahap perekembangan psike anak. Momen pembentukannya disebut “tahap cermin”. Pada tahap ini formasi ego yang memungkinkan anak membedakan bentuknya sendiri dari bentuk orang lain belum terjadi. Struktur imajiner merupakan dunia pra-Oedipal. Diri ingin menyatu dengan apa yang ia persepsi sebagai Yang lain. Anak merancukan orang lain sebagai bayangan cerminnya sendiri; dan karena diri terbentuk dari kombinasi introyeksi yang didasarkan pada pengenalan diri yang keliru, diri sulit membentuk personalitas yang utuh. Dengan kata lain, kita mengalami diri yang sangat terpecah. (Sarup, 2011: 31. Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan alieniasi. Alieniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang selalu kalah. Alienasi pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri.
Eagleton (2010: 238) mengatakan, saya telah menggambarkan bagaimana bagi Freud, pada titik awal perkembangan bayi, belum mungkin ada batasan yang jelas antara subjek dan objek., dirinya sendiri dan dunia luar. Keadaan inilah yang dinamai Lacan’imajiner’, yang maksudnya sebuah kondisi di mana kita tidak mempunyai pusat diri yang terdefinisi, di mana ‘diri’ yang kita miliki tampaknya berpindah pada objek, dan objek berpindah padanya, dalam sebuah pertukaran tertutup tanpa akhir.
Konsep struktur simbolik Lacanian merupakan upaya menciptakan mediasi antara analisis libidinal dan kategori linguistik. Dengan kata lain, untuk menyediakan skema transkode yang memungkinkan kita membahas keduanya dalam kerangka konseptual yang umum. Subjek ditentukan oleh bahasa . Ketidak sadaran Freudian dilihat dari sudut pandang bahasa:”Ketidaksadaran adalah wacana tentang Yang Lain-konsep yang cenderung mengejutkan mereka mengasosiasikan bahasa dengan pikiran dan kesadaran..(Sarup, 2011:32).
Identitas sebagai subjek, ia mulai menyadari, terdiri dari hubungan perbedaan dan kesamaannya dengan subjek-seubjek lain di sekelilingnya. Dalam menerima semua ini, anak bergerak dari lingkup imajiner ke arah apa yang disebut Lacan ‘tatanan simblis’: struktur peran seksual dan sosial serta hubungan yang telah diberikan sebelumnya, yang membangun keluarga dan masyarakat. Dalam istilah Freud sendiri, anak telah berhasil menangani perjalanan yang menyakitkan melalui kompleks Oedipus (Eagleton, 2010:242).
Struktur ketiga adalah yang nyata. Realitas yang tidak pernah dapat kita ketahui adalah yang nyata- kenyataan ini berada di luar bahasa…realitas yang harus kita asumsikan karena tidak pernah kita ketahui. Struktur ini adalah struktur paling problematic disbanding dua struktur yang lain karena tidak pernah dapat dialami secara langsung, tetapi melalui mediasi dua struktur yang lain: “Realitas, atau apa yang dipersepsi sebagai yang nyata, adalah apa yang mutlak menolak proses simbolisasi. (Sarup, 2011: 33).

2. Hasrat Pada Hasrat
Hasrat adalah apa yang tidak dapat dispesifikkan permintaan. Seorang anak menangis. Ibu memberinya sebatang cokelat, namun anak itu tidak pernah tahu apakah tindakan member cokelat ini merupakan ungkapan pemenuha kebutuhan atau tindak cinta ibu. Lacan percaya bahwa tanggapan semacam itu memang dalam dirinya sendiri ambigu. Dan karena tanggapan itu ambigu, permintaan it uterus diualng-ulang…sampai tidak terbatas (ad infinitum). (Sarup, 2011: 24).
Mungkin, orang terus-menerus membuat permintaan, meskipun mereka tidak menyadarinya. Permintaan merupakan sarana mengungkapkan hasrat, meskipun tidak langsung. Hasrat adalah hasrat pada orang lain, yang harus ditafsirkan. Lacan menyatakan bahwa kebutuhan dibatalkan permintaan yang muncul kembali di bagian lain hasrat kita. Kita sering menginginkan objek yang hanya dapat diberikan kepada kita, masalahnya objek semacam itu tidak ada. Permintaan muncul untuk mendapatkan tanggapan, namun tanggapan itu tidak pernah partikulatr (khusus, spesifik). Kita tidak pernah yakin seratus persen apakah orang lain mencintai kita karena partikularitas kita yang unik (Sarup, 2011:25).
Semua hasrat muncul dari sebuah ketiadaan, yang secara berkelanjutan coba dipenuhi olehnya. Bahasa manusia bekerja melalui ketiadaan tersebut: ketidakhadiran objek nyata yang dimaknai oleh tanda, fakta bahwa kata memiliki makna hanya melalui ketidakhadiran dan penyisihan kata lain. Maka memasuki bahasa berarti menjadi mangsa hasrat: bahasa, ujar, Lacan, adalah ‘apa yang mengikis sesuatu hingga menjadi hasrat’. Bahasa membagi-bagi-mengartikulasikan-sifat penuh dari imajiner:kita kini takkan pernah berhenti di objek tunggal, maka tunggal, yang akan menjelaskan semua makna lain. Memasuki bahasa berarti terputus dari apa yang disebut Lacan sebagai hal yang ‘nyata’, area yang tidak dapat dimasuki dan selalu di luar jangkauan signifikasi, selalu di luar tatanan simbolis (Eagleton, 2010: 243).

D. Pembahasan
1. Hasrat Tokoh Hanafi dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
Diri atau identitas diri seorang Hanafi merupakan konsep imajiner tentang dirinya yang utuh. Menurut Lacan, ego Hanafi adalah liyan, yaitu bukan diri Hanafi sebenarnya, melainkan seorang Hanafi Eropa. Tindak laku seperti orang Eropa yang melekat pada dirinya. Keengganan Hanafi menjadi orang Timur tampak sekali dalam kutipan di bawah ini:
“…Hanafi sendiri benci pada bangsanya, bumiputra. Pelajarannya, tingkah lakunya, perasaannya, semua sudah menurut cara Barat…”(Moeis, 2009:33).
Ke-Baratan Hanafi ditunjukkan oleh luapan emosinya yang luar biasa. Pertama, ketika ia meninggalkan Solok dengan kelegaan.
“Dalam hatinya, Hanafi sebenarnya girang bahwa sudah terpaksa berangkat ke Betawi. Udara di rumah (Solok) memang kurang nyaman dan di Betawi ada Corrie”. (Moeis, 2009:33).
Hasrat Hanafi ditunjukkan ketika ia sangat membenci ketimuran, padahal ia telah lama tinggal bersama keluarga Belanda. Hanafi membenci menjadi orang timur. Sebagai keturunan Timur ia seharusnya tertandai dengan karakter ketimurannya. Kenyataannya, dengan sekolah di lingkungan Belanda membuat Hanafi lebih merasa menjadi orang Belanda daripada seorang Timur. Perkembangan dirinya pun diwarnai budaya Belanda. Ia hidup dengan cara Belanda dengan menyukai gaya hidup, makanan, dan bahkan pergaulan Belanda. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Maka tiadalah ia segan-segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah sewaan di Solok itu secara dikehendaki oleh anaknya. Hanafi berkat, bahwa ia dari kecilnya hidup di orang Belanda saja; jadi tidak senanglah hatinya, jika aturan mengisi rumahnya tidak mengarah-arah itu pula.”
“Tapi sepanjang hari orang tua itu termangu-mangu saja, karena dari beranda muka sampai ke dapur dan kamar mandi diperbuat secara aturan orang Belanda.”
“Di rumah gedang, di Kota Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja”.
“Makin lama makin bimbanglah hatinya melihat anak yang kebelanda-belandaanitu. Pakaiannya cara Belanda, pergaulannya dengan orang Belanda saja, Jika ia berbahasa Melayu, meskipun dengan ibunya sendiri, maka dipergunakan bahasa Riau dan kepada orang di bawahnya ia berbahasa cara orang Betawi. Begitupun juga sebagai dipatah-patahkannya lidahnya dalam bahasa sendiri.”
“Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi segala yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal ihwal yang berhubungan dengan orang Melayu dicatat dan dicemoohkannya, sampai kepada adat lembaga orang Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindahan serambut juga. Adat lembaga disebutkan ‘kuno’ , agam Islam ‘takhyul’. Tidak heran, kalau ia hidup tersisih benar dari pergaulan orang Melayu,. Hanyalah kepada ibunya ada melekat hatinya”.
“Acap kali benar ia berkata, terutama kepada orang Belanda ‘bahwa negeri Minangkabau sungguh indah, hanya saying sekali penduduknya si Minangkabau.’ Tapi\’, katanya pula, ‘seindah-indahnya negeri ini, bila tidak ada ibuku, niscaya sudah lamalah kutinggalkan”. (Moeis, 2009: 23-24).
Dalam teori Lacan dikatakan bahwa tahap yang nyata tidak akan pernah dicapai. Dalam tataran ini need bertengger dan merupakan sebuah keadaan di mana seseorang tidak mampu membedakan antara dirinya dengan liyan. Ini dikarenakan seseorang merasa tanpa kekurangan. Inilah yang dialami Hanafi, ia menginginkan menjadi seorang Belanda dan menjadi yang nyata dari tataran perkembangan kepribadian menurut Lacan. Seiring dengan apa yang dikatakan Lacan mengenai ego, kepribadian atau identitas Hanafi tidak pernah utuh seperti yang ia hasratkan.
Pada gilirannya, tataran yang imajiner berperan menyokong permintaan Hanafi akan identitas yang dihasratkannya sebagai pemenuhan need. Peristiwa dalam fase cermin yang menjelmakan alieniasi di mana Hanafi (bayi) didominasi/kalah oleh liyan. Citra ke-Belanda-an yang melekat pada diri Hanafi merupakan alieniasi karena terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri. Pada prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan saat pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa.
Tataran yang bersinggungan dengan kehadiran bahasa adalah tataran Yang Simbolik. Hanafi mengalami momen kehilangan dan kebutuhan akan identitas dan keadaan seperti itulah ia berada dalam tataran Yang Simbolik. Hanafi sebagai subjek dikatakan tidak utuh melalui apa-apa yang diucapkannya. Ini berarti ego Hanafi terbelah karena keterpisahannya dengan sosok yang terpantul dalam cermin dalam tataran Yang Imajiner, Hanafi si orang Belanda.
Menurut Lacan, penanda diperlihatkan dalam hasrat Hanafi ingin menjadi seorang Eropa. Objek atau petanda adalah konsekuensi dari kehadiran sebuah penanda dan di sini petanda itu tidak ada karena secara fisik Hanafi adalah kultur Timur yang lekat-lekat tak akan terpisah dari daging kulitnya sebagai keturunan Timur. Seorang Eropa tidaklah memiliki struktur fisik sepertinya. Maka yang terjadi adalah pembelokan petanda. Naluri mengarahkannya untuk bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Eropa, sebagai petanda alih. Dengan demikian, Hanafi berada dalam kondisi pemenuhan keinginan untuk menjadi seorang Bangsa Eropa hanya bisa dilaksanakan jika ia berperilaku sebagaimana orang Eropa sebagai obyek pemenuhan.
Tokoh Hanafi dalam novel ini digambarkan menempuh cara-cara tertentu untuk memenuhi hasratnya untuk menjadi penduduk Bangsa Eropa. Ia memulai dengan mengganti namanya dengan ‘Cristian Han”agar tampak lebih Eropa karena bisa dipendekkan menjadi ‘Han”’. Menata rumah dengan cara Eropa, hanya bergaul dengan orang-orang Eropa, serta hanya ingin menikah dengan gadis keturunan bangsa Eropa yakni Corrie. Tentu saja dengan melakukan hal tersebut membuat hasratnya terpenuhi walaupun tidak secara nyata Hanafi adalah penduduk asli dari Bangsa Eropa.
Petanda alih bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Eropa oleh Hanafi akan memberi keleluasaan bagi Hanafi untuk meraih hasratnya menjadi orang Eropa. Hubungan penanda ke-Eropa-an dan petanda bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Eropa dapat dipahami dalam tataran yang simbolik, yaitu melalui hubungan paradigmatik dengan konsep metafora.
Citraan Hanafi sebagai seorang Eropa adalah hasil identifikasi dalam tataran yang imajiner yang kemudian mengalami represi. Dalam tataran Yang Simbolik citraan tersebut dialihkan ke petanda aksi penggantian nama. Ini merupakan simbol/metafor dari hasil identifikasi tokoh citraan Hanafi Eropa bagi Hanafi yang Ketimuran.
Ke-Eropa-an Hanafi mengantarnya pada suatu hasrat menjadi yang melahirkan perilaku narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat cukup jelas dengan gaya hidupnya yang banyak merujuk pada style menjadi Hanafi Eropa. Dengan demikian penanda utama ke-Eropaan Hanafi ada pada ego Hanafi yang direpresentasikan melalui petanda-petanda.
Dalam novel ini, hasrat Hanafi untuk menjadi Hanafi Eropa mengantarkannya pada sebuah fantasi. Fantasi Hanafi itu merupakan apa yang tersisa dari represi tataran Yang Simbolik. Karena letak fantasi itu berada pada tataran Yang Nyata, maka Hanafi tidak akan pernah meraihnya.
Fantasi Hanafi tersebut merupakan obyek yang berharga yang bernaung dalam tataran Yang Nyata. Hanafi telah mengalami proses identifikasi pada penanda utama, yaitu Hanafi Eropa dan demi struktur dan interpelasi penanda tersebut serta kenyamanan eksistensial, ia benar-benar berperilaku layaknya seorang Eropa.
Seiring waktu, represi atau larangan-larangan menjadi semakin kuat dan tampaknya sangat berpengaruh pada ego Hanafi. Larangan-larangan tersebut muncul dalam bentuk berbagai peristiwa di dalam kehidupan Hanafi. Pertama, ketika ia membandingkan kedekatannya dengan keluarga Eropa dengan keluarganya sendiri, ia menemukan bahwa ia seperti bukan bagian dari keluarga Eropa, sebagaimana yang dirasakannya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Hanafi sudah berasa dirinya masuk golongan orang Barat, oleh karena itudiharapnya akan mendapat pergaulan dari pihak itu. Tapi pengharapan itu pun sia-sia, karena sekalipun kenalannya di kantor, baik yang beristri maupun hidup yang membujang, hanya mengenalnya di jalan saja. (Moeis: 2009:154).
Dalam fantasi Hanafi, ada kenikmatan yang dikorbankan yaitu bagaimana ia telah berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sosok Hanafi Eropa melalui tindakan-tindakannya. Ia mengalami masa-masa ‘menyenangkan’ sebagai sosok Han. Pemenuhan hasrat Hanafi dalam wujud diri Han atau Hanafi Eropa adalah ilusi dari ego Hanafi karena ia tidak akan pernah mencapai hasrat dalam tataran Yang Nyata tersebut. Pengalihan atau pembelokan petanda memperlihatkan upaya untuk mencapai Yang Nyata. Ia berusaha menjaga struktur idola Hanafi Eropa itu dan klimaksnya ia harus ‘terkoyak’ dengan ‘keanehan-keanehan’ dalam konsep ‘ke-Eropaan’ melalui ketidaknyaman berhubungan dengan temannya bangsa Eropa pada akhirnya, perceraian istrinya, dan kematian istrinya. Alhasil, hasrat Hanafi untuk menjadi Hanafi Eropa memang tidak pernah tercapai.
E. Penutup
Hasrat akhirnya menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang. Dalam psikoanalisis Lacan ia berdiam dalam tataran Yang Simbolik, di mana kehilangan atau terlepasnya sesuatu yang ideal akibat turut campurnya unsur bahasa. Yang ideal tidak dapat diraih karena berada di tataran Yang Nyata sehingga dalam tataran Yang Simbolik keinginan untuk merengkuh yang ideal tadi terbatas pada bahasa.
Tokoh Hanafi memiliki hasrat yang masing-masing tidak pernah bisa meraihnya dalam tataran Yang Nyata. Hasrat tokoh Hanafi ini terlihat sebagai dua macam yang terdiri dari hasrat untuk menjadi dan hasrat untuk memiliki. Keengganan Hanafi terhadap budaya Timur mengakibatkan dirinya tercebur dalam hasratnya menjadi Hanafi Eropa.
Sehubungan dengan relasi penanda dan petanda, penanda utama ada pada Hanafi Eropa yang direpresentasikan melalui petanda-petanda. Petanda-petanda tersebut ada yang dialihkan sehingga menjadi penanda alih yang akhirnya diikuti oleh petanda-petanda lain dalam hubungan paradigmatik dan sintagmatik yang terwakili oleh konsep metaforik dan metonimi. Hasrat untuk memiliki Hanafi adalah kelanjutan dari hasrat untuk menjadi. Hanafi ingin memiliki apa yang seorang Eropa punya. Hanya saja keinginannya itu mengalami bentuk represi dan terjadilah pembelokan ke arah perilaku ke-Eropaan, seperti cara pakaian ala Eropa, hanya ingin bergaul dengan orang Eropa dan bahkan membenci bangsanya sendiri.


Daftar Pustaka

Eagleton. Terry. 2010. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Faruk. 2008. Pascastrukturalisme: Teori, Implikasi, Metodologi, dan Contoh Analisis.
Jakarta: Pusat Bahasa
Moeis, Abdoel. 2009. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarup. Madan. 2011. Postrukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra
Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Tuloli, Nani. 2000. Teori Fiksi. Gorontalo: Nurul Jannah



2 komentar:

  1. maaf, kalu boleh tau, anda dari universitas mana?

    BalasHapus
  2. 5 Ways to Make a Medical Grade Tintin Earrings
    A professional bodybuilder is is titanium lighter than aluminum always looking for great quality luxury options. He's always looking titanium i phone case for titanium wedding bands quality, mens titanium necklace quality and quality titanium key ring products

    BalasHapus