Kamis, 10 November 2011


Hasrat Tokoh Hanafi dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
(Sebuah Tinjauan Psikoanalisis Lacan)
Oleh
Jafar Lantowa

  1. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil cipta pengarang berdasarkan pengalaman dan pengamatan pengarang terhadap persoalan kehidupan manusia. Berbagai persoalan yang sering dihadapi manusia berupa persoalan cinta, persahabatan, kekecewaan, kesedihan, kegelisahan, pernikahan, dan lain sebaginya yang tampak melalui tingkah laku tokoh dalam karya sastra. Hal tersebut sesuai pendapat Sastrowardoyo (dalam Tuloli, 2002:8), yang mengemukakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kehidupan manusia. Berkaitan dengan pendapat tersebut, jelas bahwa segala persoalan kehidupan manusia merupakan sumber inspirasi pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra.
Novel adalah salah satu bagian dari bentuk karya sastra yang merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (Siswantoro, 2005:29). Adapun realita yang terjadi atau dialami manusia dalam novel adalah realita sosial, realita psikologis, realita sosiologis, dan realita religius. Secara spesifik realita psikologis, dapat dilihat pada kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami tokoh utama ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Masalah kepribadian merujuk pada apa yang dialami manusia yang berhubungan dengan masalah psikis yang individual sifatnya dan membedakannya dari individu yang lain. Dikatakan bahwa kepribadian adalah satu totalitas dari disposisi-diposisi psikis manusia yang individual dan memberi kemungkinan untuk memberi perbedaan ciri-ciri dengan yang lainnya. Disposisi adalah kesediaan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu yang sifatnya konstan dan terarah pada tujuan tertentu. Indivudual adalah setiap manusia mempunyai kepribadiannya sendiri yang khas dan tidak identik dengan orang lain (Kartono, 2005: 10).
Berbeda dengan Freud, Jacques Lacan percaya identifikasi menstabilkan individu, tapi pada saat yang sama menjauhkan diri individu dari dirinya sendiri. Ia mengatakan bahwa Freud berangkat dari dorongan individual dan pemuasannya serta bahwa ia mengabaikan dimensi sosial. Namun, menurut Lacan, hubungan subjek dengan subjek, atau apa yang kita sebut intersubjektivitas, memang telah ada sejak awal. (Sarup, 2011: 15).
Paradigma psikoanalisis Lacan memiliki implikasi yang lebih jauh. Seperti halnya teori poststrukturalisme yang dibangun dengan menemukan kelemahan-kelemahan strukturalisme, psikoanalisis Lacan dibangun atas dasar kelemahan-kelemahan teori Freud. Ketidaksadaran (unconsciousness) atau nirsadar menempati posisi penting dalam bahasan psikoanalisis. Menurut Lacan, ranah nirsadar adalah ranah terstruktur layaknya bahasa. Bahkan, nirsadar hadir bersamaan dengan bahasa. Dengan kata lain, bahasa menunjukkan alam bawah sadar (unconscious mind) seseorang. Ditegaskan pula bahwa bahasa sebagai sistem pengungkapan tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Dalam hal ini Lacan memandang adanya jalinan antara psikoanalisis dengan linguistik.Seperti pendahulunya, Sigmund Freud, Lacan juga menggunakan model tripatrie, yaitu Yang Simbolik (the symbolic), Yang Imajiner (the imaginary), dan Yang Nyata (the real). Dinyatakan pula oleh Lacan bahwa yang menggerakkan kehidupan manusia di dunia ini adalah hasrat yang ada dalam diri mereka. (Sarup,2011:31).
Dalam novel Salah Asuhan, tokoh Hanafi mengalami rentang waktu kehidupannya dengan kekuatan hasratnya untuk menjadi orang yang berbeda. Ia berusaha sedemikian kerasnya dalam pembuktian dirinya sebagai seorang Hanafi Barat, meskipun budaya Timur mau tak mau melekat dalam darahnya, Hanafi merasa bahwa ia orang Belanda, perilakunya baik dalam sekolah, bergaul, maupun berpakaian, semua menunjukkan bahwa ia memang orang Belanda. Timur hanya dikenal sebagai bangsa yang tertinggal, dan tidak berpendidikan.
Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis hasrat tokoh Hanafi dalam novel Salah Asuhan dengan menggunakan teori psikoanalisis Lacan. Pembahasan berkenaan dengan hasrat sang tokoh dengan analisis nirsadar (arus bawah sadar) yang merupakan keterkaitan antara kemunculan keinginan dan mekanisme pertahanan untuk memperoleh obyek dari keinginan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam analisis ini adalah bagaimana hasrat tokoh Hanafi dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis?

  1. Landasan Teori
  1. Struktur pengalaman perkembangan manusia
Lacan mengemukakan bahwa pengalaman perkembangan manusia ada pada tahap-tahap tertentu yakni yang nyata, yang imajiner dan tahap simbolik. Imajiner adalah sejenis bentuk preverbal yang logikanya bersifat visual-mendahului tahap simbolik dalam tahap perekembangan psike anak. Momen pembentukannya disebut “tahap cermin”. Pada tahap ini formasi ego yang memungkinkan anak membedakan bentuknya sendiri dari bentuk orang lain belum terjadi. Struktur imajiner merupakan dunia pra-Oedipal. Diri ingin menyatu dengan apa yang ia persepsi sebagai Yang lain. Anak merancukan orang lain sebagai bayangan cerminnya sendiri; dan karena diri terbentuk dari kombinasi introyeksi yang didasarkan pada pengenalan diri yang keliru, diri sulit membentuk personalitas yang utuh. Dengan kata lain, kita mengalami diri yang sangat terpecah. (Sarup, 2011: 31. Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan alieniasi. Alieniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang selalu kalah. Alienasi pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri.
Eagleton (2010: 238) mengatakan, saya telah menggambarkan bagaimana bagi Freud, pada titik awal perkembangan bayi, belum mungkin ada batasan yang jelas antara subjek dan objek., dirinya sendiri dan dunia luar. Keadaan inilah yang dinamai Lacan’imajiner’, yang maksudnya sebuah kondisi di mana kita tidak mempunyai pusat diri yang terdefinisi, di mana ‘diri’ yang kita miliki tampaknya berpindah pada objek, dan objek berpindah padanya, dalam sebuah pertukaran tertutup tanpa akhir.
Konsep struktur simbolik Lacanian merupakan upaya menciptakan mediasi antara analisis libidinal dan kategori linguistik. Dengan kata lain, untuk menyediakan skema transkode yang memungkinkan kita membahas keduanya dalam kerangka konseptual yang umum. Subjek ditentukan oleh bahasa . Ketidak sadaran Freudian dilihat dari sudut pandang bahasa:”Ketidaksadaran adalah wacana tentang Yang Lain-konsep yang cenderung mengejutkan mereka mengasosiasikan bahasa dengan pikiran dan kesadaran..(Sarup, 2011:32).
Identitas sebagai subjek, ia mulai menyadari, terdiri dari hubungan perbedaan dan kesamaannya dengan subjek-seubjek lain di sekelilingnya. Dalam menerima semua ini, anak bergerak dari lingkup imajiner ke arah apa yang disebut Lacan ‘tatanan simblis’: struktur peran seksual dan sosial serta hubungan yang telah diberikan sebelumnya, yang membangun keluarga dan masyarakat. Dalam istilah Freud sendiri, anak telah berhasil menangani perjalanan yang menyakitkan melalui kompleks Oedipus (Eagleton, 2010:242).
Struktur ketiga adalah yang nyata. Realitas yang tidak pernah dapat kita ketahui adalah yang nyata- kenyataan ini berada di luar bahasa…realitas yang harus kita asumsikan karena tidak pernah kita ketahui. Struktur ini adalah struktur paling problematic disbanding dua struktur yang lain karena tidak pernah dapat dialami secara langsung, tetapi melalui mediasi dua struktur yang lain: “Realitas, atau apa yang dipersepsi sebagai yang nyata, adalah apa yang mutlak menolak proses simbolisasi. (Sarup, 2011: 33).

2. Hasrat Pada Hasrat
Hasrat adalah apa yang tidak dapat dispesifikkan permintaan. Seorang anak menangis. Ibu memberinya sebatang cokelat, namun anak itu tidak pernah tahu apakah tindakan member cokelat ini merupakan ungkapan pemenuha kebutuhan atau tindak cinta ibu. Lacan percaya bahwa tanggapan semacam itu memang dalam dirinya sendiri ambigu. Dan karena tanggapan itu ambigu, permintaan it uterus diualng-ulang…sampai tidak terbatas (ad infinitum). (Sarup, 2011: 24).
Mungkin, orang terus-menerus membuat permintaan, meskipun mereka tidak menyadarinya. Permintaan merupakan sarana mengungkapkan hasrat, meskipun tidak langsung. Hasrat adalah hasrat pada orang lain, yang harus ditafsirkan. Lacan menyatakan bahwa kebutuhan dibatalkan permintaan yang muncul kembali di bagian lain hasrat kita. Kita sering menginginkan objek yang hanya dapat diberikan kepada kita, masalahnya objek semacam itu tidak ada. Permintaan muncul untuk mendapatkan tanggapan, namun tanggapan itu tidak pernah partikulatr (khusus, spesifik). Kita tidak pernah yakin seratus persen apakah orang lain mencintai kita karena partikularitas kita yang unik (Sarup, 2011:25).
Semua hasrat muncul dari sebuah ketiadaan, yang secara berkelanjutan coba dipenuhi olehnya. Bahasa manusia bekerja melalui ketiadaan tersebut: ketidakhadiran objek nyata yang dimaknai oleh tanda, fakta bahwa kata memiliki makna hanya melalui ketidakhadiran dan penyisihan kata lain. Maka memasuki bahasa berarti menjadi mangsa hasrat: bahasa, ujar, Lacan, adalah ‘apa yang mengikis sesuatu hingga menjadi hasrat’. Bahasa membagi-bagi-mengartikulasikan-sifat penuh dari imajiner:kita kini takkan pernah berhenti di objek tunggal, maka tunggal, yang akan menjelaskan semua makna lain. Memasuki bahasa berarti terputus dari apa yang disebut Lacan sebagai hal yang ‘nyata’, area yang tidak dapat dimasuki dan selalu di luar jangkauan signifikasi, selalu di luar tatanan simbolis (Eagleton, 2010: 243).

D. Pembahasan
1. Hasrat Tokoh Hanafi dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
Diri atau identitas diri seorang Hanafi merupakan konsep imajiner tentang dirinya yang utuh. Menurut Lacan, ego Hanafi adalah liyan, yaitu bukan diri Hanafi sebenarnya, melainkan seorang Hanafi Eropa. Tindak laku seperti orang Eropa yang melekat pada dirinya. Keengganan Hanafi menjadi orang Timur tampak sekali dalam kutipan di bawah ini:
“…Hanafi sendiri benci pada bangsanya, bumiputra. Pelajarannya, tingkah lakunya, perasaannya, semua sudah menurut cara Barat…”(Moeis, 2009:33).
Ke-Baratan Hanafi ditunjukkan oleh luapan emosinya yang luar biasa. Pertama, ketika ia meninggalkan Solok dengan kelegaan.
“Dalam hatinya, Hanafi sebenarnya girang bahwa sudah terpaksa berangkat ke Betawi. Udara di rumah (Solok) memang kurang nyaman dan di Betawi ada Corrie”. (Moeis, 2009:33).
Hasrat Hanafi ditunjukkan ketika ia sangat membenci ketimuran, padahal ia telah lama tinggal bersama keluarga Belanda. Hanafi membenci menjadi orang timur. Sebagai keturunan Timur ia seharusnya tertandai dengan karakter ketimurannya. Kenyataannya, dengan sekolah di lingkungan Belanda membuat Hanafi lebih merasa menjadi orang Belanda daripada seorang Timur. Perkembangan dirinya pun diwarnai budaya Belanda. Ia hidup dengan cara Belanda dengan menyukai gaya hidup, makanan, dan bahkan pergaulan Belanda. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Maka tiadalah ia segan-segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah sewaan di Solok itu secara dikehendaki oleh anaknya. Hanafi berkat, bahwa ia dari kecilnya hidup di orang Belanda saja; jadi tidak senanglah hatinya, jika aturan mengisi rumahnya tidak mengarah-arah itu pula.”
“Tapi sepanjang hari orang tua itu termangu-mangu saja, karena dari beranda muka sampai ke dapur dan kamar mandi diperbuat secara aturan orang Belanda.”
“Di rumah gedang, di Kota Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja”.
“Makin lama makin bimbanglah hatinya melihat anak yang kebelanda-belandaanitu. Pakaiannya cara Belanda, pergaulannya dengan orang Belanda saja, Jika ia berbahasa Melayu, meskipun dengan ibunya sendiri, maka dipergunakan bahasa Riau dan kepada orang di bawahnya ia berbahasa cara orang Betawi. Begitupun juga sebagai dipatah-patahkannya lidahnya dalam bahasa sendiri.”
“Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi segala yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal ihwal yang berhubungan dengan orang Melayu dicatat dan dicemoohkannya, sampai kepada adat lembaga orang Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindahan serambut juga. Adat lembaga disebutkan ‘kuno’ , agam Islam ‘takhyul’. Tidak heran, kalau ia hidup tersisih benar dari pergaulan orang Melayu,. Hanyalah kepada ibunya ada melekat hatinya”.
“Acap kali benar ia berkata, terutama kepada orang Belanda ‘bahwa negeri Minangkabau sungguh indah, hanya saying sekali penduduknya si Minangkabau.’ Tapi\’, katanya pula, ‘seindah-indahnya negeri ini, bila tidak ada ibuku, niscaya sudah lamalah kutinggalkan”. (Moeis, 2009: 23-24).
Dalam teori Lacan dikatakan bahwa tahap yang nyata tidak akan pernah dicapai. Dalam tataran ini need bertengger dan merupakan sebuah keadaan di mana seseorang tidak mampu membedakan antara dirinya dengan liyan. Ini dikarenakan seseorang merasa tanpa kekurangan. Inilah yang dialami Hanafi, ia menginginkan menjadi seorang Belanda dan menjadi yang nyata dari tataran perkembangan kepribadian menurut Lacan. Seiring dengan apa yang dikatakan Lacan mengenai ego, kepribadian atau identitas Hanafi tidak pernah utuh seperti yang ia hasratkan.
Pada gilirannya, tataran yang imajiner berperan menyokong permintaan Hanafi akan identitas yang dihasratkannya sebagai pemenuhan need. Peristiwa dalam fase cermin yang menjelmakan alieniasi di mana Hanafi (bayi) didominasi/kalah oleh liyan. Citra ke-Belanda-an yang melekat pada diri Hanafi merupakan alieniasi karena terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri. Pada prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan saat pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa.
Tataran yang bersinggungan dengan kehadiran bahasa adalah tataran Yang Simbolik. Hanafi mengalami momen kehilangan dan kebutuhan akan identitas dan keadaan seperti itulah ia berada dalam tataran Yang Simbolik. Hanafi sebagai subjek dikatakan tidak utuh melalui apa-apa yang diucapkannya. Ini berarti ego Hanafi terbelah karena keterpisahannya dengan sosok yang terpantul dalam cermin dalam tataran Yang Imajiner, Hanafi si orang Belanda.
Menurut Lacan, penanda diperlihatkan dalam hasrat Hanafi ingin menjadi seorang Eropa. Objek atau petanda adalah konsekuensi dari kehadiran sebuah penanda dan di sini petanda itu tidak ada karena secara fisik Hanafi adalah kultur Timur yang lekat-lekat tak akan terpisah dari daging kulitnya sebagai keturunan Timur. Seorang Eropa tidaklah memiliki struktur fisik sepertinya. Maka yang terjadi adalah pembelokan petanda. Naluri mengarahkannya untuk bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Eropa, sebagai petanda alih. Dengan demikian, Hanafi berada dalam kondisi pemenuhan keinginan untuk menjadi seorang Bangsa Eropa hanya bisa dilaksanakan jika ia berperilaku sebagaimana orang Eropa sebagai obyek pemenuhan.
Tokoh Hanafi dalam novel ini digambarkan menempuh cara-cara tertentu untuk memenuhi hasratnya untuk menjadi penduduk Bangsa Eropa. Ia memulai dengan mengganti namanya dengan ‘Cristian Han”agar tampak lebih Eropa karena bisa dipendekkan menjadi ‘Han”’. Menata rumah dengan cara Eropa, hanya bergaul dengan orang-orang Eropa, serta hanya ingin menikah dengan gadis keturunan bangsa Eropa yakni Corrie. Tentu saja dengan melakukan hal tersebut membuat hasratnya terpenuhi walaupun tidak secara nyata Hanafi adalah penduduk asli dari Bangsa Eropa.
Petanda alih bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Eropa oleh Hanafi akan memberi keleluasaan bagi Hanafi untuk meraih hasratnya menjadi orang Eropa. Hubungan penanda ke-Eropa-an dan petanda bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Eropa dapat dipahami dalam tataran yang simbolik, yaitu melalui hubungan paradigmatik dengan konsep metafora.
Citraan Hanafi sebagai seorang Eropa adalah hasil identifikasi dalam tataran yang imajiner yang kemudian mengalami represi. Dalam tataran Yang Simbolik citraan tersebut dialihkan ke petanda aksi penggantian nama. Ini merupakan simbol/metafor dari hasil identifikasi tokoh citraan Hanafi Eropa bagi Hanafi yang Ketimuran.
Ke-Eropa-an Hanafi mengantarnya pada suatu hasrat menjadi yang melahirkan perilaku narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat cukup jelas dengan gaya hidupnya yang banyak merujuk pada style menjadi Hanafi Eropa. Dengan demikian penanda utama ke-Eropaan Hanafi ada pada ego Hanafi yang direpresentasikan melalui petanda-petanda.
Dalam novel ini, hasrat Hanafi untuk menjadi Hanafi Eropa mengantarkannya pada sebuah fantasi. Fantasi Hanafi itu merupakan apa yang tersisa dari represi tataran Yang Simbolik. Karena letak fantasi itu berada pada tataran Yang Nyata, maka Hanafi tidak akan pernah meraihnya.
Fantasi Hanafi tersebut merupakan obyek yang berharga yang bernaung dalam tataran Yang Nyata. Hanafi telah mengalami proses identifikasi pada penanda utama, yaitu Hanafi Eropa dan demi struktur dan interpelasi penanda tersebut serta kenyamanan eksistensial, ia benar-benar berperilaku layaknya seorang Eropa.
Seiring waktu, represi atau larangan-larangan menjadi semakin kuat dan tampaknya sangat berpengaruh pada ego Hanafi. Larangan-larangan tersebut muncul dalam bentuk berbagai peristiwa di dalam kehidupan Hanafi. Pertama, ketika ia membandingkan kedekatannya dengan keluarga Eropa dengan keluarganya sendiri, ia menemukan bahwa ia seperti bukan bagian dari keluarga Eropa, sebagaimana yang dirasakannya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Hanafi sudah berasa dirinya masuk golongan orang Barat, oleh karena itudiharapnya akan mendapat pergaulan dari pihak itu. Tapi pengharapan itu pun sia-sia, karena sekalipun kenalannya di kantor, baik yang beristri maupun hidup yang membujang, hanya mengenalnya di jalan saja. (Moeis: 2009:154).
Dalam fantasi Hanafi, ada kenikmatan yang dikorbankan yaitu bagaimana ia telah berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sosok Hanafi Eropa melalui tindakan-tindakannya. Ia mengalami masa-masa ‘menyenangkan’ sebagai sosok Han. Pemenuhan hasrat Hanafi dalam wujud diri Han atau Hanafi Eropa adalah ilusi dari ego Hanafi karena ia tidak akan pernah mencapai hasrat dalam tataran Yang Nyata tersebut. Pengalihan atau pembelokan petanda memperlihatkan upaya untuk mencapai Yang Nyata. Ia berusaha menjaga struktur idola Hanafi Eropa itu dan klimaksnya ia harus ‘terkoyak’ dengan ‘keanehan-keanehan’ dalam konsep ‘ke-Eropaan’ melalui ketidaknyaman berhubungan dengan temannya bangsa Eropa pada akhirnya, perceraian istrinya, dan kematian istrinya. Alhasil, hasrat Hanafi untuk menjadi Hanafi Eropa memang tidak pernah tercapai.
E. Penutup
Hasrat akhirnya menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang. Dalam psikoanalisis Lacan ia berdiam dalam tataran Yang Simbolik, di mana kehilangan atau terlepasnya sesuatu yang ideal akibat turut campurnya unsur bahasa. Yang ideal tidak dapat diraih karena berada di tataran Yang Nyata sehingga dalam tataran Yang Simbolik keinginan untuk merengkuh yang ideal tadi terbatas pada bahasa.
Tokoh Hanafi memiliki hasrat yang masing-masing tidak pernah bisa meraihnya dalam tataran Yang Nyata. Hasrat tokoh Hanafi ini terlihat sebagai dua macam yang terdiri dari hasrat untuk menjadi dan hasrat untuk memiliki. Keengganan Hanafi terhadap budaya Timur mengakibatkan dirinya tercebur dalam hasratnya menjadi Hanafi Eropa.
Sehubungan dengan relasi penanda dan petanda, penanda utama ada pada Hanafi Eropa yang direpresentasikan melalui petanda-petanda. Petanda-petanda tersebut ada yang dialihkan sehingga menjadi penanda alih yang akhirnya diikuti oleh petanda-petanda lain dalam hubungan paradigmatik dan sintagmatik yang terwakili oleh konsep metaforik dan metonimi. Hasrat untuk memiliki Hanafi adalah kelanjutan dari hasrat untuk menjadi. Hanafi ingin memiliki apa yang seorang Eropa punya. Hanya saja keinginannya itu mengalami bentuk represi dan terjadilah pembelokan ke arah perilaku ke-Eropaan, seperti cara pakaian ala Eropa, hanya ingin bergaul dengan orang Eropa dan bahkan membenci bangsanya sendiri.


Daftar Pustaka

Eagleton. Terry. 2010. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Faruk. 2008. Pascastrukturalisme: Teori, Implikasi, Metodologi, dan Contoh Analisis.
Jakarta: Pusat Bahasa
Moeis, Abdoel. 2009. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarup. Madan. 2011. Postrukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra
Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Tuloli, Nani. 2000. Teori Fiksi. Gorontalo: Nurul Jannah



SASTRA POPULER


ANALISIS FORMULA DALAM NOVEL CINTA SUCI ZAHRANA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
Oleh
Jafar Lantowa

A. Pendahuluan
Sastra populer adalah sastra yang populer pada masanya dan banyak pembacanya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Sastra populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens. Sebab jika demikian, sastra populer akan menjadi berat dan berubah menjadi sastra serius (Nurgiantoro, 1998:18). Sebutan sastra populer mulai merebak setelah tahun 70-an. Sering pula sastra yang terbit setelah itu dan mempunyai fungsi hiburan belaka, walaupun bermutu kurang baik, tetap dinamakan sebagai sastra populer atau sastra pop (Kayam, 1981: 82). Sastra populer adalah semacam sastra yang dikategorikan sebagai sastra hiburan dan komersial. Kategori hiburan dan komersial ini disangkutkan pada selera orang banyak.
Biasanya sastra populer bersifat artifisial atau bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Oleh karena itu sastra populer cepat dilupakan pembacanya apalagi dengan munculnya karya sesudahnya (Nurgiyantoro, 1998: 20). Menurut Kayam (1981: 88) sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalaman-pengalamannya itu. Sastra populer yang baik akan mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.
Sastra populer lebih mengejar selera pembaca komersial. Kategori sastra ini tidak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab akan mengurangi jumlah penggemarnya. Sastra populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati. Ia tidak berpretensi mengejar efek estetis, melainkan memberikan hiburan langsung dari isinya. Isinya pun tergolong ringan, tetapi masih aktual dan menarik. Contoh sastra populer Indonesia misalnya, puisi-puisi remaja yang terbit di majalah-majalah, cerpen percintaan remaja, novel Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, ketika cinta bertasbih, cinta suci Zahrana dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, penulis menganalisis sastra populer dari hasil karya Habiburrahman El Shirazy khususnya novelnya yang berjudul Cinta Suci Zahrana. Sebelum menguraikan novel ini, perlu dijelaskan sosok Habiburrahman El Shirazy kaitannya dengan karya-karyanya yang sering disebut populer. Kepopuleran Habiburrahman ditandai dengan karya-karya yang dapat dinikmati pembaca karena mudah dipahami dan dapat memberikan manfaat spiritual kepada pembaca. Karya sastra Habiburrahman dapat dikatakan sastra populer islam karena mengandung nilai-nilai keislaman yang kental. Beberapa karya populernya yang telah terbit antara lain, Ketika Cinta Berbuah Surga (MQS Publishing, 2005), Pudarnya Pesona Cleopatra (Republika, 2005), Ayat-Ayat Cinta (Republika-Basmala, 2004), Diatas Sajadah Cinta (telah disinetronkan Trans TV, 2004), Ketika Cinta Bertasbih (Republika-Basmala, 2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (Republika-Basmala, 2007) dan Dalam Mihrab Cinta (Republika-Basmala, 2007). Kini sedang merampungkan Langit Makkah Berwarna Merah, Bidadari Bermata Bening, Bulan Madu di Yerussalem, dan Dari Sujud ke Sujud (kelanjutan dari Ketika Cinta Bertasbih).
Pada dasarnya, sastra popular Islami mampu menangkap kegelisahan zaman. Jika sastra berbicara mengenai representasi yang melihat segmentasi pembaca dan pembaca pun merasa terepresentasikan melalui karya, saya rasa tidak salah, sastra popular Islami menjadi sangat booming. Dalam keberadaan Indonesia yang mayoritas muslim, hal ini tentu tidak menjadi soal. Buktinya, Ayat-Ayat Cinta menjadi salah satu novel dengan penjualan terbanyak selain Laskar Pelangi, dan juga telah berkali-kali cetak ulang. Bahkan, banyak karya lain yang ikut meniru Ayat-Ayat Cinta atau Laskar Pelangi, mulai dari cerita hingga cover bukunya.
Lain daripada itu, jika kita berbicara mengenai karya sastra, pada dasarnya setiap karya sastra mengandung ideologi yang ditawarkan kepada khalayak pembacanya. Booming Ayat-Ayat Cinta bisa saja mejadi sebuah penyebaran ideologi baru, bahwa dalam karya kita tidak harus malu-malu menyampaikan dakwah melalui karya semisal sastra. Segmentasinya yang lebih memilih “popular” dibandingkan dengan “serius” juga bisa menjadi salah satu bukti bahwa inilah satu-satunya cara agar dapat diterima oleh masyarakat luas, dan sangat mungkin juga berkaitan dengan prinsip-prinsip industrialisasi. Setelah populernya ayat-ayat cinta, maka muncul lagi karyanya yakni ketika cinta bertasbih, yang disambut baik oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Akhirnya novel ini pun di filmkan karena minat masyarakat dalam mengapresiasi novel tersebut yang dilihat dari penjualan novelnya yang cepat laku di pasaran.
Salah satu karyanya yang populer sekarang adalah novel Cinta Suci Zahrana. Novel tersebut telah dibedah oleh beberapa aktivis mahasiswa di beberapa universitas yang ada di Indonesia. Salah satunya mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ini menandakan bahwa novel tersebut, banyak diminati oleh kalangan mahasiswa karena ceritanya yang sangat menarik dan menyentuh hati ketika membacanya. Dalam bukunya, tercantum bahwa rencananya novel ini akan difilmkan dan ditayangkan di bioskop tanggal 22 Desember tahun 2011. Novel ini terjual hampir di seluruh Indonesia serta disambut oleh seluruh masyarakat karena ceritanya menarik sesuai harapan masyarakat. Ketertarikan masyarakat yakni adanya pesan atau amanat yang menegaskan bahwa pentingnya menuntut ilmu setinggi langit serta memilih pasangan hidup yang berakhlak mulia sehingga dapat membahagiakan rumah tangga. Kepopuleran dalam novel ini terlihat adanya tanggapan positif dari masyarakat pembaca dalam menyambut novel tersebut sehingga pengarang berantusias untuk memfilmkan novel tersebut.
Adapun dalam makalah ini, penulis menganalisis novel Cinta Suci Zahrana menggunakan pendekatan tekstual yang memanfaatkan teori formula. Teori formula melihat unsur-unsur yang membangun dalam novel populer. Dalam hal ini penulis menganalisis cerita yang dituangkan dalam novel ini serta menguraikan sedikit kepopuleran dari novel ini. Adi (2011:228) menjelaskan bahwa pendekatan yang umum dilakukan dalam meneliti fiksi populer yang berhubungan dengan faktor kesejarahan adalah pendekatan yang pada dasarnya meneliti keberlangsungan, pengulangan, duplikasi dan imitasi dari suatu bentuk dan unsure-unsur fiksi populer.; dengan demikian dapat diidentifikasikan unsur-unsur yang membuat kepopuleran jenis fiksi populer. Pendekatan ini berdasar pada teori-teori formula dan genre. Secara sederhana, metode dengan pendekatan genre ini dilakukan dengan membandingkan fiksi-fiksi lain yang serupa dan dilihat kesamaannya serta menghubungkannya dengan budaya sehingga terjawablah pertanyaan tentang mengapa suatu genre populer.
Adi (2011:209) menjelaskan bahwa penelitian genre fiksi populer juga dilakukan dengan melihat unsur-unsur atau elemen suatu fiksi populer. Akan tetapi, berbeda dengan unsur-unsur karya sastra, unsur-unsur dalam konteks fiksi populer disebut formula. Jadi, dapat dikatakan secara umum, formula dapat disamakan dengan unsur. Di samping formula, unsur lain yang penting dalam fiksi populer adalah arketipe. Arketipe merupakan unsure-unsur yang dapat dikatakan universal. Menurut Cawelti, (dalam Adi, 2011:211) formula dan arketipe berbeda. Arketipe adalah pola cerita yang tidak dibatasi oleh kebudayaamn tertentu maupun oleh waktu, sedangkan formula didefinisikan sebagai kombinasi konvensi budaya yang spesifik antara satu budaya dengan budaya lainnya. Namun, dalam analisis ini penulis hanya memfokuskan pada teori formula dalam menganalisis novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy.
B. pembahasan
1. Analisis Formula Novel Cinta Suci Zahrana
Sinopsis Cerita
Cinta Suci Zahrana menceritakan seorang tokoh heroin yakni Zahrana yang memiliki keinginan untuk berjuang dalam menuntut ilmu sampai ke jenjang S3 di luar negeri yakni di Cina. Dengan kegigihannya dalam berjuang melupakan dia dalam membangun rumah tangga. Namun, orang tua dan temannya menyadarkan dia untuk menikah sebelum melanjutkan studi S3-nya. Ia pun tersadar dengan sendirinya dan mengubah pendiriannya untuk mengikuti nasehat dari orang tua dan temannya. Ia mengubah untuk membangun rumah tangga sebelum melanjutkan studinya. Namun, setelah ia menikah, ia tetap bertekad untuk melanjutkan studinya di luar negeri seperti yang dicita-citakan.
Zahrana akhirnya memutuskan untuk memilih suami yang berakhlak mulia untuk dijadikan imam bagi anak-anaknya. Dengan pilihannya tersebut, ia menolak beberapa lamaran bahkan lamaran Pak Sukarman yang merupakan dekannya yang sangat ia hormati pun ditolak karena akhlaknya yang kurang baik di mata Zahrana. Meskpun di umur yang sudah tua yakni 34 tahun, ia tidak perduli, yang penting baginya adalah impiannya untuk menikah dengan suami yang dapat dijadikan imam bagi rumah tangganya. Hal ini dilakukan karena Zahrana ingin rumah tangganya bahagia dan memiliki anak-anak yang saleh.
Kekuatan niatnya akhirnya membuahkan hasil yang ia harapkan. Ia akhirnya menikah dengan mahasiswanya Hasan. Hasan terkenal dengan watak yang seperti ia harapkan. Setelha pernikahannya dengan Hasan akhirnya ia melanjutkan studinya di Cina dengan biaya beasiswa yang dijanjikan salah seorang dosen yang ada di universitas tempat Zahrana studi. Akhirnya kebahagiaanlah yang dialami oleh tokoh heroin yakni Zahrana. Kebahagiaan karena impiannya tercapai yakni menikah dengan suami yang berakhlak mulia dan dapat melanjutkan perjuangannya untuk menuntut ilmu di luar negeri dengan biaya beasiswa.
Dari sinopisis di atas, maka penulis memiliki gambaran sedikit dengan kepopuleran cerita dalam novel ini, yakni alurnya menarik dan diakhiri dengan happy ending. Happy ending di sini dapat dilihat dari tokoh heroinnya yang dapat mewujudkan impiannya sehingga kebhagiaanlah yang ia rasakan. Kemudian cerita ini juga mudah dipahami, dan sesuai dengan formula dalam sastra populer. Untuk lebih jelasnya mengenai formula dalam novel tersebut, maka penulis akan menguraikan analisis novel tesebut dengan menggunakan teori formula. Di lihat dari genrenya cerita di atas tampak memiliki genre religius pada umumnya, dan genre romance pada khususnya.
Agar lebih jelas dari uraian di atas, maka penulis menguraikan analisis mengenai cerita tersebut dengan menggunakan teori formula yang melihat novel populer dari unsur-unsurnya.
  1. Plot
Adi (2011:38) mengemukakan bahwa Plot cerita suatu novel, baik dalam haigh literature maupun populer literature, dimulai dengan perkenalan keadaan, perkembangan, dan penutup, atau dimulai dengan eksposisi, komplikasi, konflik, klimaks, dan penutup. Dalam hal ini, jalan cerita merupakan unsur yang sangat menonjol dalam sebuah novel, dimulai dengan menceritakan suatu keadaan, kemudian keadaan tersebut mengalami perkembangan, dan akhirnya cerita ditutup dengan sebuah penyelesaian. Sedangkan plot cerita berupa alasan yang menyebabkan terjadinya perkembangan tersebut.,
Yang sering menjadi cirri novel populer adalah akhir cerita. Berbeda dengan novel adiluhung, cerita biasanya diakhiri dengan happy ending atau berkahir dengan kemenangan tokoh utamadan berakhir dengan kebahagiaan. Karena pada dasarnya novel populer adalah hiburan, ceritanya haruslah memenuhi keinginan pembaca dan happy ending memenuhi keinginan tersebut. (Adi, 2011:38).

Dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy, dapat disusun plot sebagai berikut.
  1. Diawali dengan tokoh heroin dalam hal ini Zahrana yang merasakan kebahagiaan yang tidak sempurna terhadap prestasi yang diraihnya. Disebabkan teringat oleh orang tuanya yang tidak merespon baik penghargaan yang diraihnya, pada tujuannya adalah untuk membahagiakan orang tuanya.
Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Wajah ayah dan ibunya yang dinginlah yang membuat rasa bahagianya tidak sempurna, bahkan rasa bahagia itu nyaris seketika. Ia bertanya-tanya dalam hati, bukankah ia bersusah payah dan berjuang keras mengukir prestasi selama ini untuk membahagiakan kedua orang tuanya.?sebagai anak semata wayang ia tidak mau dimanjakan. Ia belajar keras dan bekerja tiada henti siang dan malam demi mengangkat derajat kedua orang tuanya (El Shirazy, 2011: 2).
  1. Tokoh heroin, ingin memfokuskan dirinya ke studi, dan belum memikirkan masalah pernikahan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Ia tersenyum pada sahabatnya itu dan mengatakan belum ingin menikah, ia ingin menyelesaikan kuliah” (El Shirazy: 2011:23).
  1. Tokoh heroin mendapat serangan batin dari orang tua dan sahabatnya. Orang tua dan temannya sangat menginginkn Zahrana untuk mementingkan membangun rumah tangga dibandingkan dengan melanjutkan studinya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Jadi selain ayah dan ibunya, sebenarnya banyak dari teman-temannya yang mengingatkan untuk menikah tetapi ia entah kenapa lebih memilih berasyik masyuk dengan buku dan perpustakaan” (El Shirazy, 2011:26).
Tahap keempat, tokoh Zahrana mulai menyadari diri, dengan harapan orang tuanya yang menginginkan dia untuk segera menikah. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Zahrana, ayah dan ibumu saat ini tidak memerlukan lagi penghargaan-penghargaan ilmiah itu. Yang mereka inginkan darimu adalah kamu segera berumah tangga, lalu member mereka cucu. (El Shirazy, 2011: 27).
  1. Kesadaran tokoh heroin atau Zahrana untuk membangun rumah tangga. Namun, Zahrana hanya ingin menikah dengan calon suami yang berakhlak mulia. Ia tidak ingin menikah denga lelaki yang berakhlak buruk, sehingga kebahagiaannya berumah tangga tidak akan diperolehnya.
Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana Bu. Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya. Itu saja.” Jawab Zahrana.(El Shirazy, 2011: 196).
  1. Zahrana mengalami konflik berupa teror dari tokoh Sukarman, seorang dekan yang ditolak lamarannya oleh Zahrana. Teror tersebut berupa kata-kata pedas yang dikirimkan Pak Sukarman kepada Zahrana. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
”Sedang apa perawan tua?”
”Ternyata jadi perawan itu indah”
”Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi daging
Tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat”.

Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror paling primitif, dengan kata-kata yang merendahkan dan menyakitkan. Ia periksa nomornya. Nomor yang tidak ia kenal. Ia nyaris membalas SMS itu dengan kata-kata yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan. Ia sudah bisa menduga kira-kira dan mana sms itu berasal. Akhirnya ia memilih diam. Dan tanpa pernh menganggap sms itu ada. Ia merasa diam adalah senjata paling ampuh (El Shirazy, 2011:223).
  1. Zahrana berusaha untuk menemukan cinta sucinya dengan meminta bantuan kepada sahabat dan kiyai yang ada di pesantren.
”Baiklah ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk menemukan yang saya idamkan baiklah saya akan sowan ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya.”Jawab Zahrana sambil mengusap air matanya (El Shirazy, 2011:229).

  1. Zahrana menemukan lelaki yang ia idamkan melalui Pak Kiai, yakni Rahmad.
Rahmad lelaki saleh yang sesuai dengan kriterianya dalam memilih suami.
  1. Zahrana mengalami konflik, dengan meninggalnya calon suaminya yakni
Rahmad, sebelum pelaksanaan pernikahan dimulai. Zahrana meyakni bahwa kematian suaminya disebabkan oleh Pak Sukarmnan yang berencana untuk membatalkan pernikahannya.
  1. Zahrana menghadapinya dengan sabar, dan menyerahkan semua musibah yang
dialami kepada Allah SWT.
  1. Zahrana membaca sebuah koran, tentang penangkapan Pak Sukarman karena
melakukan perbuatan susila terhadap; mahasiswanya.
  1. Zahrana merasakan kebahagiaan, karena baginya Allah yang telah membalas
perbuatan buruk Pak Sukarman kepadanya.
  1. Zahrana mendapat lamaran lagi dari Hasan, yang pernah menjadi mahasiswanya.
  2. Zahrana menerima lamaran Hasan, karena bagi Zahrana Hasan adalah lelaki
  3. yang saleh, cerdas, yang sesuai dengan idamannya.
  4. Penutup cerita, berakhir dengan penyelesaian happy ending, yakni seorang tokoh utama Zahtrana mengalami kebahagiaan karena impiannya untuk menikah dengan lelaki saleh tercapai. Tidak hanya itu, Zahrana juga berbahagia karena setelah menikah, suaminya mengijinkan Zahrana untuk tetap melanjutkan S3-nya di Cina. Akhirnya Zahrana bersama Hasan pun pindah ke Negeri Cina untuk belajar. Hasan melanjtukan S2, dan Zahrana melanjutkan S3. Mereka sama-sama hidup berbahagia dengan penuh cinta. Itulah cinta suci Zahrana yang tergambar dalam novel ini.

  1. Tema
Adi (2011, 45) mengemukakan tema dalam fiksi populer yang lebih sederhana biasanya dapat dengan mudah diketahui oleh pembacanya. Bahkan pembaca fiksi populer dapat segera tahu tema cerita dari judul, gambar sampul, atau penerbitnya dan tidak harus dicari-cari dalam proses pembacaan.
Berkaitan dengan uraian tersebut, tema dalam novel Cinta Suci Zahrana dapat ditemukan melalui judulnya yakni kesucian cinta Zahrana yang dapat digambarkan melalui perjuangan seorang wanita dalam memilih pasangan hidupnya sesuai dengan idamannya, yakni yang tampan, saleh, cerdas, dan dapat dijadikan imam bagi rumah tangganya demi kebahagiaan dalam menempuh hidup berumah tangga.
Seperti yang dikatakan oleh Adi (2011:46) bahwa cerita romance biasanya mengambil nilai-nilai kesetiaan pria, perjuangan seorang istri, atau keberhasilan wanita dalam memperoleh pasangan yang tampan, baik hati, lembut, dan sebagainya. Pemilihan nilai-nilai yang dijadikan dasar pembuatan tema tersebut karena diasumsikan bahwa nilai tersebutlah yang menjadi keinginan segmen pembacanya. Terbukti pada penulis, penulis memiliki keinginan yang kuat terhadap apa yang dituangkan dalam cerita ini karena mengandung nilai-nilai yang mirip atau sesuai dengan impian penulis.
  1. Penokohan
Adi, (2011: 46, 47, dan 48) mengemukakan bahwa kehadiran tokoh cerita, baik tokoh utama maupun tokoh pendukung selalu ada di semua novel, apakah novel tersebut novel populer atau adiluhung. Perbedaannya, dalam novel adiluhung, tokoh yang dihadirkan di dalam cerita sangat sedikit, sedangkan dalam novel populer para tokohnya hadir dalam jumlah yang lebih banyak. karakter dalam novel populer harus berpikir dan bertindak seperti layaknya manusia dalam dunia nyata. Dan juga penokohan dalam fiksi populer sangat tergantung pada segmen pembacanya dan segmen pembaca ini dipengaruhi oleh atau mempengaruhi genre fiksi populer, artinya fiksi populer ditujukan bagi pembaca yang menjadi sasaran dalam menentukan penokohannya.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat kita lihat pada novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy yang memeiliki tokoh yang cukup banyak. Tokoh-tokoh teresebut adalah, Zahrana, kedua orang tua Zahrana (Ibu Nuriyah, dan Pak Munajat), Sahabat Zahrana (Lina dan Wati), rekan-rekan dosen (Ibu Merlin, Pak Solihin), Mahasiswanya (Hasan, Nina), Ibunya Hasan (dr. Zulaikha), Lelaki yang melamarnya (Pak Gugun, Pak Sukarman, Pak Didik, Rahmad, Hasan). Pak Kiai dan Bu Nyai. Santri, rekan-rekan dosenya di Beijing Vincent Lung, Lilian, dan rector serta rekan-rekan lainnya.
Novel ini juga menyajikan kejadian dan karakter manusia sesuai dengan alam yang nyata, Yakni kesungguhan seorang dalam menmepuh keinginanya yang tampak baik dari tokoh utama maupun tokoh bawahan atau pembantu.
Novel ini menunujukkan segmen pembaca yang begitu banyak terutama kaum perempuan yang mendambakan lelaki yang saleh demi kebahagiaan rumah tangganya. Meskpun, lebih banyak diminati oleh pembaca perempuan, tak dapat dipungkiri juga segmen pembaca ada dari kaum adam atau laki-laki yang ingin memilih pasangan hidupnya sesuai keingiannya yakni perempuan yang salehah dan penuntun anak-anaknya kelak.
  1. Latar atau Setting
Adi, (2011, 49) mengemukakan latar dalam novel populer dapat dipakai sebagai alat menarik perhatian pembaca atau penonton. Latar dapat juga menentukan jenis cerita itu sendiri.
Menurut Krakauer dan Bazin (dalam Adi, 2011: 51) hal terpenting adalah cara membuat suatu representasi rekaan serealistis-realitisnya. Hal ini disebabkan adanya kekuatan penalaran yang dimiliki oleh penikmat fiksi populer. Dalam menilai suatu adegan realistis atau tidak dengan cara membandingkannya dengan realitas di dunia nyata. Jadi, hokum logika sangat penting dalam pembuatan atau penulisan fiksi populer.
Adapun dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy memiliki latar tempat di Semarang, UNDIP, Yogyakarta, UGM, Bandung, ITB, China (Beijing), Pesantren, dan di Masjid. Dalam fiksi populer, latar tersebut tampak realitas dan sesuai dengan unsure ceritanya yang membangun cerita mengenai tema yang diangkat.

  1. Suasana
Adi, (2011:52) mengemukakan bahwa dalam cerita-cerita populer di Indonesia, terdapat gaya pengarang yang menggurui, penuh nasihat, dan bahasanya kebapakan sehingga suasana ceritanya mengandung hal-hal yang teratur serta tokoh-tokohnya digambarkan selalu baik, dan sebagainya.Berbeda dengan fiksi populer Amerika yang cenderung menghindari kesan menggurui. Dari perbedaan inilah sering kita mendengar orang mengatakan bahwa cerita-cerita populer di Indonesia lebih muda ditebak. Hal ini disebabkan kesan menggurui ini mengarahkan akan dibawa ke mana pembaca dan penonton di akhir cerita.
Dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy, tampak suasana cerita mendukung tema yang disajikan pengarang. Suasana yang religius yang ditampilkan oleh tokoh utam Zahrana. Suasana penuh semangat dalam mewujudkan impiannya dalam memilih jodoh, serta ketenangannya dalam melawan musibah yang menimpahnya. Dalam hal ini, dalam cerita ini juga tampak kesan dari pengarang yang menggurui atau memberikan nasehat kepada pembaca agar bersungguh-sungguhlah dalam usaha demi kebaikan, karena dengan kesungguha tersbut akan mewujudkan apa yang menjadi impian kita, serta pengarang menganjurkan agar masyarakat dapat memilih pasangan untuk hidup berumah tangga dengan mengutakan akhlak dibandingkan yang lainnya, karena itulah kunci kabahagiaan rumah tangga.
Bagi penulis cerita ini suasananya mudah ditebak, karena pembaca telah mengenai alur dari cerita ini dan apa yang menjadi akhir dari penyajian cerita dalam novel ini. Inilah yang menjadi dasar, novel Cinta Suci Zahrana dikatakan populer.
C. Penutup
Dalam fiksi populer khususnya novel lebih memprioritaskan kedudukan novel dalam kaitannya dengan segmentasi pembacanya. Hal ini yang mendukung novel dikatakan populer. Novel populer adalah novel yang mudah dipahami oleh pembaca dan bersifat menghibur serta berakhir dengan happy ending.
Dalam novel Cinta Suci Zahrana mengandungb alur yang menarik diawali dengan gambaran suasana tokoh Zahrana, konflik yang menimpanya, cara menyelesaikan knflik tersebut dan akhirnya sampai pada penyelesaian yakni kebahagiaan Zahrana sebagai tokoh utama dalam mewujudkan impiannya untuk menikah dengan lelaki tampan, baik, saleh, cerdas, dan dapat dijadikan imam bagi rumah tangganya. Tema dalam novel ini mudah ditemukan melalui judulnya serta sampul covernya yang menunjukkan kesucian cinta Zahrana dalam menentukan pasangan hidupnya. Suasana dalam novel ini mendukung cerita serta begitu juga latar yang senagaja disajikan pengarang dsecara nyata agar mudah dipahami oleh pembaca serta pembaca dapat memvisualisasikan apa yang ia baca dalam novel tersebut. Tokoh dalam novel ini disajikan begitu banyak serta menunjukkan karakter yang sesuai dengan suasana cerita yang ditampilkan pengarang.
Dengan menganalisis formula atau unsur-unsur cerita dalam novel ini, maka akan tampak kepopuleran novel ini dilihat dari cerita yang disuguhkan oleh pengarangnya. Sehingganya apa yang dituangkan dalam novel ini semakin meyakinkan bahwa novel ini termasuk dalam novel populer yang memiliki genre religius pada umumnya, dan genre romance pada khususnya. Dikatakan genre religius karena formula ceritanya mengandung unsur-unsur nasehat yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Nasehat tersebut berupa anjuran memilih pasangan yang berakhlak mulia dalam berumah tangga, dan genre romance tampak dalam formula cerita yang mengandung unsur perjuangan seorang tokoh wanita yakni Zahrana dalam memilih suami yang sesuai dengan idamannya yakni yang tampan, baik, cerdas serta berakhlak mulia.
Daftar Pustaka
Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian. Yogyakarta:
Pustaka pelajar.

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi Robert Stanton. Diterjemahkan oleh
Sugihartuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





POSTKOLONIALISME DALAM CERPEN



Mimikri dan Resistensi dalam Cerpen Tambo Raden Sukmakarto

Karya Dari Dwicipta

(Sebuah Tinjauan Postkolonialisme Homi K. Bhabha)
Oleh
Jafar Lantowa


  1. Pendahuluan
Karya sastra mengungkapkan nilai-nilai sejarah yang ada pada masyarakat tertentu. Dalam hal ini, pengarang sebagai pencipta karya sastra tentu merupakan bagian dari masyarakat yang menggambarkan sejarah melalui karya sastranya. Menurut Endraswara (2011: 178) bahwa karya sastra yang dilahirkan oleh pengarang yang sekaligus pejuang, pelaku sejarah, dengan pengarang sebagai pengamat sejarah akan memiliki nuansa yang berbeda. Apalagi kalau pengarang demikian sekadar “membaca sejarah “, lalu mencipta karya-karya berbau kolonial, tentunya akan berdimensi lain. Karya-karya demikian, perlu didekati dari kajian postkolonial, agar terungkap apa yang ada di balik karya tersebut.
Kajian postkolonial, dengan sendiri tidak akan melupakan aspek-aspek kolonial, yaitu “penjajah” dan “terjajah”. Pada wilayah praktis, penciptaan wacana kolonial sama sekali meniadakan subjek terjajah. Wacana kolonial menarasikan masyarakat pribumi, seolah menulis di atas kertas kosong tentang masyarakat yang sama sekali belum ditandai. Kolonial memberi nama, mencirikan, dan mengkaji masyarakat terjajah dalam kerangka kerja dan aturan-aturan yang telah mereka tentukan. Mereka memiliki otoritas penuh untuk menciptakan gambaran masyarakat pribumi. Kolonialisme mengonstruksi masyarakat pribumi menurut kehendak dan tujuan-tujuan kekuasaannya.
Timur adalah sebuah metafora, yang dalam wacana Barat, hanyalah berfungsi layaknya panggung dramaturgi. Di atas panggung ini, Timur diperankan sebagai dramawan, dengan para orientalis sebagai sutradaranya. Timur disuguhkan sedemikian rupa kepada para penonton, yang terdiri tidak hanya para pembaca Barat, tetapi juga mereka membenarkan scenario sang sutradara. Bagi Barat, identitas Timur “benar-benar tak punya tanda, kecuali warna sepia. Cokelat tua. Setua sezaman kita” (Said, 2010:xi).
Menghadapi sikap penjajah yang demikian, Indonesia, mulai mengadakan perlawanan bersenjata. Perlawanan dilakukan dengan cara mimikri atau peniruan karena problem pertama dari masyarakat terjajah dalam menghadapi penjajah adalah problem emansipasi, peningkatan martabat diri supaya sejajar dengan kaum penjajah (Faruk, l998: 2). Konsep mimikri atau peniruan yang dipakai Bhabha lebih mengacu pada mimikri menurut bahasa. Menurut Bhabha, (l994: 86) mimikri kolonial adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a difference, that is almost the same, but not quite). Konsep mimikri Bhabha ini mengandung ambivalensi karena di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya. Mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan, yakni perbedaan tersebut merupakan proses pengingkaran. Ambivalensi mimikri terlihat dalam tatanan berikut ini, pertama, mimikri adalah suatu strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan ‘sang lain’ sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimikri juga merupakan ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang melekat pada fungsi strategis kekuatan dominasi kolonial. Pada prakteknya, mimikri juga mengusung paham mockery, meniru tetapi juga memperolok-olok (Bhabha, l994: 86). Sikap memperolok-olok ini juga merupakan suatu cara pribumi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kaum penjajah, antara masyarakat kecil dan penguasa.
Peniruan yang dilakukan pribumi atas penjajah Belanda bukan melalui bahasa, melainkan lebih banyak melalui gaya hidup yang menurut Adam (Faruk, l998: 3) sebagai manifestasi dari hasrat masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan kehendak zaman, mencapai kemajuan, dan menempatkan diri sama dengan bangsa penjajah. Menurut Macaulay (Bhabha, l994: 87), titik persinggungan antara mempelajari Eropa dan kultur kolonial adalah kelas interpreter, yakni sebuah kelas dimana pada tubuh orang-orangnya mengalir darah India, dan warna kulitnya menunjukkan orang India, tetapi cita rasa, pandangan, moral, dan intektualnya adalah Inggris.
Dalam makalah ini, penulis menganalisis cerpen “Tambo Raden Sukmakarto karya Dari Dwicipta. Cerpen ini menceritakan tentang seorang pribumi yang termasuk bangsawan Jawa, anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena asyik berpesiar ke Eropa. Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda. Pemuda ini bernama Raden Sukmakarto, yang memiliki talenta dalam bidang kesenian. Talentanya tersebut memberanikan dirinya untuk berbaur dengan bangsa Belanda dalam sebuah pertemuan resmi yang diadakan oleh raja dan ratu Belanda. Ia ikut menyanyikan lagu kebangsaan Belanda bersama para tamu dari bangsa Belanda, namun ia menggantikan lagu tersebut dengan bahasa Jawa dengan nada yang tetap merupakan nada lagu kebangsaan Belanda. Hal ini, tampak adanya mimikri atau peniruan dengan tujuan sebagai bentuk resistensi dari pribumi terhadap bangsa Belanda.
Raden Sukmakarto melakukan peniruan atau mimikri, yakni dengan cara melantunkan lagu kebangsaan Belanda dengan menggunakan bahasa Belanda. Peniruan atau mimikri yang dia lakukan yakni peniruan dalam nada yang ada dalam lagu kebangsaan Belanda.

  1. Pembahasan
Konsep Bhaba mengenai postkolonialisme bahwa penjajah itu split seperti Max Havelar yang melahirkan politik etis di Indonesia. Baik dari konsep Said maupun Bhaba, konsep dari poskolonial bermuara pada lost identity atau kehilangan jati dirinya, baik dalam orientalisme, mimikri, maupun hibriditi. Homi K. Bhaba (dalam Faruk, 2007:6) membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial selalu bersifat ambigu, polisemik. Karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan bermacam-macam dan bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial, identifikasi masyarakat terjajah terhadap penjajahnya. Pada level pemaknaan, tindakan masyarakat terjajah untuk meniru (to mimic) itu dapat pula menjadi suatu ejekan (mockery) terhadap penajajah karena mereka tidak melakukan peniruan sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan penjajah.
Faruk (2007:6) menyatakan bahwa tindakan masyarakat terjajah dalam melakukan peniruan ada kemungkinan mengejek penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan dengan sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan penjajah.
Dalam cerpen “Tambo Raden Sukmakarto karya Dari Dwicipta, tampak adanya resistensi berupa mimikri yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto seorang pribumi yang menghadiri pertemuan resmi yang diselenggarakan oleh kebangsaan Belanda. Resistensi dilakukan oleh Raden tidak terlepas dari bakat atau talentanya dalam kesenian khususnya suaranya yang merdu dalam menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Belanda. Adapun resistensi yang dilakukan melalui mimikri. Mimikri tersebut berupa peniruan nada lagu kebangsaan Belanda, dan menyanyikannya dengan menggunakan bahasa Jawa. Sehingga para tamu tersentak kaget dan mengarahkan pandangan mereka ke Raden Sukmakarto. Hal ini yang membuat Raden tersebut tekenal di Batavia. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda. Namun peristiwa di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring-lah yang membuat ia menjadi lelaki paling terkenal di Batavia di masa itu. Ketika lagu Wilhelmus van Nassau mulai mengumandang di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring, seorang lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan lagu aneh berbahasa Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan Belanda tersebut. Sontak saja beberapa hadirin dalam ruangan bersuasana khidmat itu menoleh ke arahnya. Belangkon yang dikenakannya dipakai terbalik sejak irama lagu kebangsaan Belanda mulai mengalir.”
Kutipan di atas menggambarkan bahwa seorang pribumi yang berani mengubah nada dalam lagu kebangsaan Belanda dengan bahasa Jawa. Ia melakukan tindakan tersebut dengan memanfaatkan kemampuan dalam dunia tarik suara yang menarik bagi bangsa Belanda. Selain itu, pribumi melakukan perlawanan terhadap penjajah melalui sikap penghinaan yakni dengan membalikkan Belangkon yang dipakaiannya sejak irama lagu kebangsaan Belanda dimulai. Bagi bangsa Belanda ini merupakan penghinaan besar terhadap bangsa mereka.
Dalam cerpen ini pula, tampak adanya perbedaan warna kulit antara pribumi dengan bagsa Belanda. Pribumi dikatakan berkulit cokelat dan bertubuh pendek, dan Belanda berkulit putih. Namun, hal ini tidak membuat Raden Sukmakarto rendah diri. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Tubuhnya yang pendek dengan kulit coklat seperti memberi warna tersendiri dari kumpulan bangsa-bangsa kulit putih yang berdandan anggun malam itu. Sekalipun ia merasa beda di antara sebagian besar pengunjung, tak sedikit pun terpancar kerendah-dirian pada dirinya.”
Hal tersebut menandakan bahwa Raden bahwa Raden menyuarakan bahwa pribumi tidak mementingkan warna kulitnya, yang penting bagi Raden adalah dapat melakukan perlawanan terhadap bangsa Belanda. Kejadian penghinaan tersebut terdengar oleh opsir Belanda.
Mendengar laporan tindakan Raden Sukmakarto tersebut, dua orang opsir dan dua pembantunya menemui Raden serta menanyakan seluk-beluknya mengubah lagu kebangsaan Belanda dengan Bahasa Jawa. Ia seakan-akan tak menghiraukan pertanyaan dari opsir bangsa Belanda tersebut, bahkan Opsir menuduh bahwa Raden tersebut sangaja menghina bangsa mereka. Hal tersbut tampak pada kutipan berikut.
Apa yang kau nyanyikan? Apakah kau menghina ratu kami?” tanya opsir itu setelah menggelandang lelaki aneh itu ke ruang keamanan. Laki-laki itu memandang sang opsir dengan raut muka tiada salah. Wajahnya tak membersitkan apa pun selain ketidaktahuan ketika ia digelandang begitu saja dari ruang peresmian dan melewati lorong-lorong yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan Rembrandt. Justru sepanjang digelandang, mulutnya berdecak-decak kagum mengamati lukisan pelukis Belanda itu walaupun hanya mengamatinya sambil lalu. Dan ketika sudah berada di kantor keamanan di lantai dua itu, ia tak henti-hentinya memandangi potret seorang Jenderal di masa perang Jawa, penakluk pemberontakan Diponegoro dan Bonjol.
Ia kurang hidup dengan memegang tongkat komando seperti itu, sementara sorot matanya tak membersitkan kekejaman dan keculasan seperti yang ia praktikkan di masa perang,” katanya bak seorang kampiun kurator lukisan.”
Kutipan di atas, tampak adanya sikap resistensi seorang pribumi terhadap Belanda berupa sikap acuh atau tidak memperhatikan pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Hal ini, menunjukkan sikap keberanian seorang pribumi dalam menghadapi Belanda yang selama ini menjajah bangsanya.
Sikapnya ini, membuahkan amarah dari Opsir sehingga tampaklah gambaran penjajah yang menganggap pribumi itu lemah. Kelemahan Raden akhirnya mendapat serangan dari Opsir berupa tamparan, karena sikap acuh yang dilakukan oleh Raden terhadap Opsir. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Opsir itu murka dan menampar mukanya.
Dasar Inlander! Apakah kau tak mendengar pertanyaanku?! Perbuatanmu di ruang peresmian sudah cukup mengantarkanmu di tiang gantungan. Sekarang kau menghina tuan Jenderal De Kock yang terhormat,” katanya dengan gusar.”
Raden pun akhirnya mengutarakan dengan tegas pendapatnya yang dianggapnya bahwa perbuatannya itu sesuatu yang tidak mengandung kesalahan seperti yang diduga oleh Opsi tersebut. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Aku seorang seniman, apakah aku salah kalau berpendapat? Bukankah gedung ini dibangun untuk keagungan kesenian Hindia Belanda?” kata lelaki berkulit sawo matang itu dengan mimik menuntut.
Bahkan seorang seniman sekalipun harus punya aturan, bukan seperti pemberontak macam kamu,” jawab sang opsir. “Apa yang kau nyanyikan di ruang peresmian itu?”
Wilhelmus van Nassau.”
Itu bukan lagu kebangsaan bangsa kami. Itu lagu Jawa.”
Karena kunyanyikan dalam bahasa Jawa. Kalau tuan sekiranya tahu bahasa Jawa, tentu tuan akan mengerti lagu itu,” jawabnya dengan enteng. Pukulan tangan beberapa kali dari opsir tinggi besar itu membuat darah meleleh dari mulut dan hidungnya. Barangkali bibir dan tulang rawannya pecah dipukuli oleh opsir itu dan dua pengawalnya.
Kau mau menipu kami?!”
Saya tidak menipu, Tuan. Saya bicara sesungguhnya.”
Opsir itu meninggalkan ruang keamanan yang disulap menjadi ruang interogasi dalam waktu singkat. Tak lama setelah meninggalkan ruangan itu, ia kembali lagi dengan membawa seorang Belanda lain yang berpakaian indah dan pesolek.
Kutipan di atas, semakin membuktikan, keberanian seorang pribumi dalam melakukan resistensi berupa peniruan/mimikri terhadap lagu kebangsaan Belanda yang dinyanyikan dalam bahasa Jawa dengan menggunakan nada kebangsaan Belanda. Bagi bangsa Belanda, Raden tersebut menipu bangsanya dengan alasannya dalam menyanyikan lagu kebangsaan Belanda tersebut.
Dalam cerpen ini, dijelaskan bahwa bangsa Belanda tidak seperti yang dipikirkan oleh bangsa Timur, yakni bangsa yang berbudaya. Kenyataannya tidak demikian. Raden menyampaikan bahwa bangsa Belanda tidak berbudaya, karena serangan yang tak pantas terhadapnya dari Opsi yang membuat wajah dan hidungnya berdarah. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
““Apakah tuan benar-benar mau mendengarkan? Saya kira semua orang Belanda berbudaya. Tapi saya malah mendapatkan pukulan.”
Pukulan dan kekerasan fisik adalah tata cara interogasi, tuan.
Begitulah gambaran bangsa Belanda ketika menginterogasi pribumi jika melakukan kesalahan. Dalam kutipan selanjutnya, bangsa Belanda, merasa senang dengan lagu yang dilantunkan oleh Raden dengan berbahasa Jawa. Hal ini membuat perlwanan Raden berupa menghina bangsa Belanda semakin kuat. Hal tersbut tampak pada kutipan berikut.
Ayolah, saya ingin mendengarkan tuan menggubah lagu kebangsaan negeri kami,” kata Belanda pesolek itu dengan suara halus.
Lelaki itu kemudian menyanyikan lagu Jawa yang terdengar aneh di telinga opsir dan dua pengawalnya itu. Sementara Belanda pesolek bernama Hooykaas mendengarkan nyanyiannya dengan saksama. Wajahnya yang berdahi lebar sedang memikirkan sesuatu. Setelah lelaki itu selesai menyanyikan lagunya, bola mata Hooykaas bersinar-sinar gembira.
Aha, tuan bisa menggubah liriknya ke dalam bahasa Jawa yang indah. Tak pernah kudengarkan lagu kebangsaan kami dinyanyikan dalam bahasa selain bahasa Belanda. Tuan benar-benar memiliki darah seni yang kuat,” katanya.
Opsir yang mendengarkan komentar Belanda pesolek itu tertegun mendengar komentarnya.
Tapi ia menghina ratu karena menyanyikan lagu kebangsaan dengan cara yang aneh. Tuan Gubernur Jenderal tentu akan murka dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tubuhnya akan dicerai-beraikan dengan empat kuda yang lari ke empat penjuru mata angin. Tuan tahu Peter Elberfeld? Nasib tuan tidak akan jauh seperti dia dahulu,” katanya.

Kutipan di atas, menggambarkan seorang pribumi yang memiliki talenta dalam kesenian, sehingga memanfaatkan talenta tersebut dengan menipu bangsa Belanda. Raden ini terkesan melakukan penghinaan terhadap bangsa Belanda. Karena lagu kebangsaan Belanda dinyanyikan dengan bahasa Jawa yang menurut bangsa Belanda sangat aneh. Hal ini terdapat dalam kutipan di atas.
Bentuk penghinaan pribumi terhadap Belanda, tampak pada kutipan berikut.
Hapuslah darah tuan. Nasib hidup tuan barangkali tidak lama lagi. Pertama tuan menghina bangsa kami dengan menyanyikan lagu Wilhelmus van Nassau dalam bahasa Jawa. Kedua, menurut pengakuan opsir k\ami, tuan membalikkan belangkon yang tuan pakai ketika lagu kebangsaan kami mulai berkumandang. Itu perbuatan menghina bangsa tuan sendiri. Dan yang ketiga, masih menurut opsir kami, tuan menghina lukisan potret salah satu pahlawan perang kami di tanah Hindia ini, seorang strateeg yang andal seperti Jenderal De Kock,” katanya dengan senyum simpul.
Menurut persangkaan opsir, bahwa tak lama lagi Raden akan mati, karena akan dihukum mati oleh Belanda Pesolek, karena telah melakukan penghinaan terhadap bangsa Belanda. Namun, begitu cerdasnya Raden ini, dengan memanfaatkan talentanya dalam kesenian, dan ilmunya yang luas, maka Belanda pesolek yang akan menghukumnya, terpengaruh juga dengan kata-katanya yang cukup mengagumkan Belanda pesolek tersebut. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Sambil menghapus darah yang masih menetes dari mulut dan hidungnya, ia melirik sebentar ke arah lukisan itu.
Ah, aku yakin tuan tahu belaka letak kesalahan lukisan ini. Bagaimana Jenderal besar semacam De Kock tak memiliki syarat-syarat seperti yang saya katakan pada opsir tuan ini. Dia seorang strateeg seperti kata tuan tadi, tapi di mana tuan dapati kesan itu pada lukisan ini,” katanya sambil menunjuk lukisan yang ada di sisi kirinya. “Bisa tuan bandingkan ketika pelukis kami yang tersohor di daratan Eropa melukis Pangeran Diponegoro, musuh Jenderal De Kock pahlawan tuan itu. Padahal bangsa tuan memiliki pelukis-pelukis yang tersohor di seluruh dunia. Bangsa kami hanya memiliki Raden Saleh.”
Ah, saya kagum pada tuan. Rupanya tuan memiliki pandangan yang luas. Apakah tuan pernah melihat lukisan Raden Saleh?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Ya, tuan. Saya pernah merantau ke negeri tuan, dan tinggal di Paris selama dua tahun. Telah saya cari seluruh lukisan raden Saleh di seluruh Eropa. Saya datang ke bekas rumahnya di Belanda. Apa pekerjaan tuan kalau saya boleh tahu?” tanyanya dengan raut muka acuh tak acuh.
Saya seorang penulis. Saya datang dari negeri Belanda dan tinggal di Hindia Belanda karena tertarik dengan alam khatulistiwa yang dituliskan sastrawan besar kami, Multatuli. Sastrawan Agung Goethe dari negeri Jerman saja kagum dengan Hindia Belanda. Itulah sebabnya saya sampai di sini. Sedangkan tuan Gubernur Jenderal Idenburg adalah teman saya semasa menyelesaikan studi di Belanda. Itulah sebabnya saya dipanggil dalam peresmian gedung ini,” katanya.
Kabarnya tuan Gubernur Jenderal sangat menghormati kesenian dan para intelektual. Itulah sebabnya saya berani menyanyikan lagu kebangsaan tuan dalam bahasa bangsa kami,” sergahnya.
Tentu saja, Tuan. Dia amat menghormati kesenian. Tapi dia juga penguasa politik di negeri ini.”
Oh, benarkah? Tapi seorang penguasa negeri sekalipun tak akan dengan mudah menjatuhkan hukuman bukan? Saya dengar dia banyak memanggil kaum intelektual dan seniman Hindia Belanda ke kantornya dan untuk acara-acara resmi. Ia memang keras terhadap aktivitas politik kaum pribumi seperti Dr Cipto dan Suwardi dan orang dari negeri tuan sendiri seperti Douwes Dekker. Tapi orang seperti saya apakah menghina bangsa tuan?”
Belanda pesolek itu terpukau dengan ketenangan dan wajah tiada bersalah dari lelaki itu. Ucapannya tajam, namun apa yang keluar dari mulutnya amat menarik hatinya. Rencananya berjalan mulus.

Kutipan tersbut, menggambarkan strategis yang dilakukan Raden agar dirinya tidak dihukum mati. Ia berhasil mempengarui pesolok Belanda dengan kata-katanya yang mengagumkan pesolok Belanda tersebut. Sementara itu, opsir dan pengawalnya tak sabar menanti keputusan pesolek Belanda akan hukuman yang diberikan kepada Raden tersebut. Kegelisahan mereka tampak pada kutipan berikut.
Opsir yang menginterogasi lelaki itu duduk gelisah di atas kursinya, mengetukkan jemarinya pada meja. Opsir itu silih berganti dengan tuan Hooykaas menanyai Raden Sukmakarto perihal perilaku-perilakunya di gedung itu. Yang satu dengan upaya menyudutkannya ke arah hukuman, sedangkan pihak yang lain berusaha mengarahkan pembicaraan ke arah kesenian. Keduanya bersitegang dan hampir adu mulut untuk menentukan apakah inlander yang kini mereka interogasi itu bersalah.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerahkan perkara ke Gubernur Jenderal setelah acara selesai. Orang-orang Betawi, menunggu keputusan atas hukuman yang dijatuhkan kepada Raden. Namun, hukuman itupun tidak terjadi. Hal ini karena strategi Raden yang begitu kuat dalam melindungi dirinya dari sikap perlawanan dari bangsa Belanda. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Akhirnya mereka bersepakat menyerahkan persoalan itu kepada tuan Gubernur Jenderal setelah acara berlangsung.
Desas-desus perilaku Raden Sukmakarto menyebar di seluruh Batavia. Orang-orang mulai bertaruh tentang berapa banyak waktu bagi lelaki nyentrik itu untuk menghirup napas bebas di muka bumi. Sampai pada saat ia dipanggil Tuan Gubernur Jenderal Idenburg ke kantornya di Weltevreden, orang-orang di seluruh Batavia diam-diam menunggu-nunggu dengan tidak sabar.
Entah bagaimana kejadiannya ketika bertemu dengan tuan Gubernur Jenderal Idenburg, Raden Sukmakarto keluar dari kantor Gubernur Jenderal itu dengan wajah berbinar-binar gembira. Orang-orang bertanya padanya kenapa ia tak dihukum mati seperti perkiraan sebagian besar orang. Tapi lelaki berkulit sawo matang dengan penampilan ganjil itu tak memberikan jawaban memuaskan. Ia hanya bercerita di dalam kantor tuan Gubernur Jenderal, ia menyanyikan banyak lagu-lagu Eropa dan memainkan musik klasik kesukaan tuan Gubernur Jenderal sampai lelaki yang paling berkuasa di Batavia itu tertidur.
Setelah bangun dari tidurnya ia menyuruhku pergi, dan selamatlah aku dari hukuman mati,” katanya dengan raut muka tiada bersalahnya.
Kisah Raden Sukmakarto itu menyebar menjadi berita heboh di Batavia, mengalahkan kedatangan rombongan pentas musik dan para pelukis negeri Belanda yang datang dan mengadakan pameran di Gedung yang baru diresmikan itu. Muncul pula desas-desus lain bahwa lelaki berkulit sawo matang itu telah membohongi tuan Hooykaas dengan mengganti lirik lagu yang dinyanyikannya di dalam gedung peresmian dan di depan tuan Hooykaas sendiri. Sejak itu para intel melayu selalu mengikutinya. Namun mereka tak kunjung memiliki alasan kuat untuk membongkar desas-desus yang beredar itu.
Di akhir kutipan tersebut, jelas bahwa resistensi dalam bentuk mimikri yang dilakukan oleh pribumi, dalam hal ini Raden Sukmakarto berhasil mengalahkan kedatangan pentas musik dan para pelukis Belanda yang datang dan mengadakan pameran gedung yang baru diresmikan itu. Penguasaannya terhadap lagu Eropa dan memainkan musik kesukaan tuan gubernur jenderal, yang membuat dia melakukan perlawanan kepada Belanda dengan cara menghina bangsa Belanda. Penghinaan tersebut dilakukan atas dasar peniruan irama lagu kebangsaan Belanda, dan ia nyanyikan dengan berbahasa Belanda. Inilah yang dimaksud dalam teori Bhaba sebuah konsep mimikri, yakni peniruan dengan tujuan melakukan perlawanan. Sebagaimana yang dikemukakan Bahaba, (1994:86) Pada prakteknya, mimikri juga mengusung paham mockery, meniru tetapi juga memperolok-olok. Sikap memperolok-olok ini juga merupakan suatu cara pribumi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kaum penjajah, antara masyarakat kecil dan penguasa.

  1. Penutup
Berdasarkan analisis dalam bagian sebelumnya, maka dapat dismpulkan bahwa resistensi dilakukan oleh figur resistensi yakni Raden Sukmakarto, sedangkan prosesnya dimulai dengan mimikri. Raden Sukmakarto melakukan mimikri dengan cara yang dalam pengertian Bhaba (1994) hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya. Di satu pihak, mimikri yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto memproduksi sifat superioritas Eropa (Belanda) secara terus-menerus dan sekaligus memproduksi inferioritas pribumi, di lain pihak dapat dipahami sebagai olok-olok pribumi terhadap eropa (Belanda) dengan menempatkan budaya eropa (Belanda) sebagai produk budaya yang dapat ditiru dan dipermainkan. Mimikri yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto dimotivasi oleh hasrat agar mendapatkan kemajuan yang setara dengan Barat atau Eropa. Setelah merasa setara, Raden Sukmakarto melakukan resistensi atau perlawanan, dengan memanfaatkan talentanya dalam kesenian. Suaranya terdengar merdu ketika menyani sehingga penajah tertarik mendengarnya. Namun, kemampuan itu, dimanfaatkan sebagai bentuk perlawanan berupa penghinaan terhadap lagu kebnagsaan Belanda. Sehingga tampak adanya resistensi yang dilakukan pribumi terhadap penjajah. Resistensi juga dilakukan dengan pengakuan Raden terhadap bangsa Belanda sebagai bangsa yang tidak berbudaya karena penindasan yang diberikan kepadanya, penghinaan Raden terhadap lagu kebangsaan Belanda, serta penipuan Raden tetrhadap gubernur jenderal sehingga dirinya terbebas dari hukuman mati yang mengancam dirinya, kemudian resistensi, mengalahkan kedatangan rombongan pentas musik dan para pelukis negeri Belanda yang datang dan mengadakan pameran di Gedung yang baru diresmikan itu.

Daftar Pustaka
Bhabha, Homi. K. l994. The Location of Culture, London: Routledge

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistomologi, Model,
Teori, dan Aplikasi.Yogyakarta:CAPS.

Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______1998. “Mimikri: Persoalan Post-Kolonial dalam Sastra Indonesia”. Makalah Seminar Pada an International Research Workshop University of Sydney.

Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Penerjemah Hartono
Hadikusumo. Judul Asli colonialism, postcolonialism diterbitkan oleh Routledg Taylor di New York). Yogyakarta: Bentang Budaya.

Ratna, Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Said, Edward W. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan
Mendudukkan Timur Sebagai Subjek, (Penerjemah Achmad Fawaid. Judul Asli Orientalism diterbitkan oleh Vintage Books di New York). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.