I. IDENTITAS BUKU
Judul : Sastra Lisan Ternate: Analisis Struktur dan Nilai Budaya
Penulis : Dra. W. Piris-P, Dra. D. Amahorseya, dan Drs. J. Pentury
Tahun Terbit : 2000
KotaTerbit : Jakarta
Penerbit : Pusat Bahasa
Isi
Jumlah Bab : Enam (6) Bab
Jumlah Halaman : x + 106 Halaman; 21 cm
II. Anatomi Buku
A. Bab I Pendahuluan
Terdiri atas:
1. Latar belakang penelitian
2. Rumusan masalah yang akan diteliti
3. Tujuan penelitian
4. Kerangka teori acuan
5. Metode dan Teknik
5. Populasi dan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ialah semua sastra lisan Ternate, sedangkan yang menjadi sampel ialah sastra lisan Ternate di Kota Ternate yang berbentuk prosa dan puisi
6. Metode penelitian
Menggunakan metode deskriptif kualitatif dan teknik perolehan data dalam penelitian ini sebagai berikut:
(1). teknik observasi (pengamatan) langsung untuk mengetahui data lingkungan penceritaan serta mengumpulkan naskah yang ada hubungannya dengan sastra lisan Ternate
(2) teknik wawancara langsung dengan informan atau responden, dan
(3) teknik perekaman sastra lisan langsung dari penuturnya atau responden. Hasil rekaman kemudian ditranskripsi langsung ke bahasa Indonesia. Jika cerita disampaikan dalam bahasa daerah, hasil rekaman diterjemahkan dulu ke dalam bahasa Indonesia
B. Bab II Latar Belakang Sosial Budaya
Dalam bab ini peneliti menguraikan latar belakang sosial budaya Ternate yang meliputi geografi, penduduk dan adat istiadat, agama, dan bahasa. Secara geografis Pulau Ternate terletak di antara 20 30’-20 35’BT 0 44-0 50’LU, dengan jumlah penduduk 84.251 jiwa dan bermatapencaharian bercocok tanam dan menangkap ikan secara tradisional.
Masyarakat Ternate terdiri atas penduduk asli dan pendatang, dan memiliki sifat gotong royong yang sangat tinggi, penduduk asli Ternate memegang adapt-istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka dengan sangat kuat dan penduduknya berwatak keras, tidak mudah dipengaruhi oleh siapa pun. Agama yang dianut penduduk Ternate ialah Islam, Katolik, dan Kristen. Sedangkan bahasa yang digunakan penduduk Ternate ialah bahasa Ibu/daerah dan bahasa Indonesia.
C. Bab III Kedudukan dan Fungsi Sastra Lisan Ternate
Dalam buku ini, peneliti menguraikan bahwa sastra lisan di Ternate berfungsi sebagai pembentuk watak manusia yang baik, sebagai alat kontrol masyarakat, sebagai alat komunikasi untuk menjalin hubungan kekeluargaan atau kekerabatan, dan sebagai alat penghibur dan juga berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kecermatan berbahasa.
Berdasarkan hasil wawancara tim peneliti dengan beberapa informan dapat diketahui bahwa dongeng atau cerita rakyat yang biasa diceritakan orang tua-tua dulu kepada anak cucunya tidak lagi merupakan kelaziman pada masa sekarang. Hal itu disebabkan oleh para orang tua terlalu sibuk mencari nafkah, dan teknik komunikasi masa sekarang sudah lebih praktisdan dapat dicapai oleh semua orang.
Seperti dikemukakan pada halaman 9, bahwa kedudukan dan fungsi sastra lisan Ternate akan hilang. Dengan sendirinya nilai budaya yang terkandung di dalamnya kan punah pula.
D. Bab IV Struktur Sastra Lisan Ternate
Dalam buku ini, terutama pada bab IV, menguraikan struktur sastra lisan di Ternate berupa prosa, dan Puisi. Adapun prosa terdiri dari mite, legenda, fable, dan puisi terdiri dari dola bololo, dalil moro, dalil tifa, cum-cum, mantra, dan tamsil.
Mite adalah cerita yang berhubungan dengan keajaiban, yang erat hubungannnya dengan kepercayaan kepada roh halus, seperti jin, setan, peri, yang juga berkaitan dengan adapt istiadat. Mite yang berhasil direkam dalam penelitian ini adalah asal mula mahkota, momole, dan puteri tujuh.
Salah satu contoh analisis struktur dalam buku ini adalah Mite “Asal Mula Mahkota” yang menggunakan alur cerita lurus, erat, dan ganda. Tokoh dalam cerita Jafar Sadik, sebagai seorang penyiar Agama Islam, Sitti Nursafa, seorang bidadari dari kayangan, raja kayangan sebagai ayah Siti Nursafa yang memberikan mahkota kepada Mashur Malamo, dan Mashur Malamo adalah putra Jafar Sadik yang membawa mahkota ke bumi hasil pemberian kakeknya. Dilihat dari perwatakan/karakter, Jafar Sadik berwatak kuat, pantang menyerah, Sitti Nursafa berwatak lebih cinta kepada orang tua dan saudaranya di kayangan dari pada cinta kepada suami. Tema cerita adalah pemberian orang tua dapat bermanfaat bagi kehidupan anak cucunya. Latar/setting terdiri dari latar tempat, waktu, dan suasana. Latar tempat dalam cerita ini ialah di daerah Maluku Utara (Ternate) pada waktu penyiaran agama Islam dan di kayangan. Latar suasana ialah berlangsung dalam suasana suka cita dan kebahagiaan karena Mashur Malamo mendapat Mahkota pemberian kakeknya Raja Kayangan. Amanat atau pesan yang dapat dipilih dari cerita ini adalah pemberian orang tua, walaupun kecil, sangat berguna bagi kehidupan anak cucu kemudian hari sehingga pemberian tersebut perlu dijaga dan dilestarikan.
Prosa selanjutnya adalah legenda. Masyarakat Maluku Utara pada umumnya memprecayai tentang asal-usul kejadian suatu tempat, gunug, pulau, sungai, dan sebagainya. Salah satu yang dapat dijadikan contoh analisis structural dalam legenda adalah “Asal Mula Terjadinya Air Sentosa” yang memiliki alur lurus, alur erat, dan alur tunggal. Peran utama/tokoh utama adalah Sultan Ternate yang memiliki watak kesatria, karena dari tongkatnya terpancar sebuah mata air yang diberi nama air sentosa. Setting atau latar yang terungkap dalam cerita ini adalah latar tempat di Kedaton Ternate dan sekitarnya, latar suasana yakni kesulitan sumber air bagi masyarakat Ternate dan permohonan doa kepada Tuhan dari Sultan Ternate dan masyarakat untuk mendapakan sumber air. Legenda ini bertemakan doa yang sungguh-sungguh kepada Tuhan disertai keyakinan yang kuat akan mempermudah tercapainya tujuan. Amanat/pesan yang terkandung dalam cerita ini ialah komunikasi yang baik antar pemimpin dengan yang dipimpin menghasilkan hasil yang baik dan berdoa dengan kesungguhan hati disertai keyakinan yang kuat memiliki manfaat besar.
Prosa selanjutnya adalah Fabel. Dalam buku ini menguraikan bahwa fable adalah kisah kehidupan binatang yang dapat berbicara dan bertingkah laku seperti manusia. Salah satu contoh hasil penelitian adalah “Cecak”. Fabel “Cecak” menggunakan alur lurus dan alur tunggal. Tokoh utama adalah cecak, yang mencegah manusia dari kecelakaan dengan menggunakan bahasa alamnya, dan orang tua, yang selalu mengikuti petunjuk cecak demi keselamatan hidupnya. Sehingga dilihat dari perwatakannya, cecak berwatak suka membantu manusia dengan cara mencegah manusia dari bahaya yang akan mengancam. Karakter orang tua adalah patuh kepada yang memberikan nasehat kepadanya. Dalam cerita ini terdapat dua jenis latar, yakni latar tempat di Ternate dan dalam rumah serta latar suasana (persiapan menghadapi tugas di luar rumah). Tema yang dapat diangkat dari cerita ini ialah cecak membantu manusia dari bahaya yang akan menganca, sedangkan amanat atau pesan yang terdapat dalam cerita ini ialah binatang tidak boleh disakiti atau dianiaya sebab binatang juga membantu manusia dari bahaya yang akan mengancam.
Adapun sastra lisan berbentuk puisi dapat diuraikan melalui salah satu contohnya yakni mantra. Dalam budaya masyarakat Ternate mantra berfungsi untuk pengobatan dan kekebalan dengan tujuan melindungi diri pada waktu berkelahi ataupun berperang. Salah satu kutipan mantra adalah sebagai berikut:
Transkrip Terjemahan
Bismillahirrahman Bismillahirrahman
nirrahim nirrahim
To oro ri salawaku Kuambil perisaiku
To oro ri sagu-sagui Kuambil tombbakku
Doka ge lulu polote Seperti guruh meletus
Nakaha mai I robo Tanah pun retak
Matufa mai lenge Langit pun miring
Mamancia mai soro Musuh pun lari
Berdasarkan hasil penelitian dalam buku ini bahwa mkna mantra di atas adalah sebagai alat pelindung bagi seseorang dalam peperangan atas perkelahian dan untuk pengobatan.
D. Bab V Lingkungan Penceritaan dan Aspek Nilai
Dalam bab ini tim peneliti menguraikan lingkungan penceritaan yang terdiri dari penutur cerita, tujuan bercerita, dan hubungan cerita dengan lingkungannya. Dalam halaman 82 menguraikan bahwa yang dimaksud dengan penutur cerita di dalam uraian ini ialah orang yang menuturkan cerita, prosa, ataupun puisi, rakyat Ternate. Penutur cerita adalah orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Ternate. Adapun tujuan bercerita yakni melestarikan cerita secara turun-temurun sehingga cerita itu tetap terjaga dan tidak dilupakan oleh generasi selanjutnya dan meberikan keterangan tentang suatu tempat, gunung, danau, air, dan lain-lain yang diberi nama tertentu sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Dalam aspek hubungan cerita dengan lingkunggannya, masyakat pendukung cerita meyakini bahwa cerita itu diceritakan secara turun temurun dalam cerita itu pernah terjadi pada masa lampau. Dengan demikian, cerita dapat mempengaruhi tingkah laku mereka. Cerita-cerita itu sangat erat hubungannya dengan lingkungan masyarakat ataupun lingkungan alamnya.
Aspek nilai mencakup aspek nilai budaya pada bentuk prosa dan puisi. Pada bentuk prosa dapat diuraikan melalui salah satu contoh prosa “Asal Mula Mahkota” melalui nilai religius. Dalam nilai religius cerita ini mengisahkan kehidupan Jafar Sadik sebagai seorang penyiar Agama Islam ke seluruh Maluku Utara, khususnya Ternate. Selain percaya kepada Tuhan, masyarakat Ternate percaya juga percaya kepada mahkota khusus rambut Jafar Sadik. Menurut mereka, meskipun benda mati, mahkota itu hidup karena kekuatan gaib. Mahkota itu juga merupakan satu-satunya tempat mereka mengadukan segala kesulitan. Nilai kesetiaan terdapat pada fable ‘tikus” yang mengisahkan kehidupan seorang nenek dan tikus. Nenek setia merawat serta menjga tikus sampai tikus sembuh dari sakit. Nilai social dalam fabel “Cecak” ialah mengingatkan kepada manusia akan sesuatu hal yang negatif menimpa dirinya. Selain nilai relgius dan nilai social, sastra lisan berbentuk prosa mengandung nilai histories, moral, nilai bekerja keras, dan nilai kesaktian. Adapun nilai budaya berbentuk puisi mengandung nilai pendidikan, nilai religius, nilai kesaktian.
Salah satu contoh dalam puisi “Dola Bololo”. Syair-syair dalam Dola Bololo” berisi pendidikan memberikan petunjuk kepada manusia bahwa untuk menghadapi hidup ini perlu persiapan yang mantap, baik fisik maupun mental. Hal tersebut terungkap pada bait ketiga berikut ini.
Jangan bersampan ke laut lepas
Cadik perahumu bambu yang muda
D. Bab VI Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini, tim peneliti menguraikan kembali secara singkat pembahasan mengenai sastra lisan pada bab sebelumnya. Pada intinya bab ini mengemukakan kedudukan dan fungsi sastra lisan di Ternate dan beberapa saran demi melestarikan sastra lisan di Indonesia khususnya di Ternate.
III. Kelemahan dan Kelebihan Buku
Kelebihan buku ini adalah dari segi isinya yang akan memberikan kesadaran bagi generasi sekarang dan selanjutnya akan kedudukan sastra lisan di Indonesia khususnya Ternate. Buku ini juga patut dijadikan sebagai referensi dalam memahami sastra lisan. Penelitian yang dilakukan terhadap penggunaan sastra lisan di Ternate berusaha mencari bentuk-bentuk sastra lisan yang pernah ada dan yang masih dikenal serta digunakan oleh masyarakat, yakni masyarakat Ternate. Prosedur pengambilan data dilakukan melalui beberapa metode dan tahap seleksi yang menghasilkan pokok-pokok kajian yang patut diperhatikan, seperti masalah bentuk sastra lisan, fungsi dan kedudukannya, serta masa depannya dalam kebudayaan masyarakat.
Buku berjudul Sastra Lisan Ternate: Analisis Struktur dan Nilai Budaya, selain membahas masalah bentuk, fungsi, dan kedudukan sastra lisan dalam masyarakat, juga mengungkapkan persoalan mendasar yang akhir-akhir ini menimpa banyak kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan sastra lisan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kemajuan teknologi, pola pikir yang berbeda dari generasi yang baru, serta aspek-aspek lainnya menyebabkan turunnya minat kalangan muda dalam menggunakan bentuk sastra lisan. Hal ini, menyebabkan terhambatnya pewarisan yang seharusnya dilakukan guna menjaga agar satu bagian kebudayaan tidak hilang dan lenyap begitu saja. Hal yang penting dari buku ini ialah, dilampirkannya contoh-contoh dari bentuk sastra lisan yang berkembang di Ternate. Ini, telah berarti banyak karena dengan demikian buku ini telah memberikan kesempatan kepada pembacanya yang berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan untuk memahami tradisi sastra lisan di Ternate dan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengannya.
Kekurangan buku ini terletak pada terbatasnya data yang disajikan dalam pembahasan tentang bentuk strukur puisi dalam sastra lisan Ternate, hanya langsung menguraikan makna puisi sehingga pemahaman pembaca terhadap puisi Ternate masih terbatas pada maknanya. Kekurangan buku ini juga, tidak adanya lampiran berupa hasil wawancara dan dokumentasi yang merupakan unsur terpenting dalam mendukung penelitian ini. Padahal, dengan adanya lampiran-lampiran tersebut akan memperkuat hasil penelitian yang telah dituangkan dalam buku ini.
IV. Penutup
Dalam meresensi buku ini, peresensi memperoleh pengetahuan mengenai sastra lisan yang ada di Ternate sehingga peresensi mengajak juga kepada pembaca lainnya agar menjadikan buku ini sebagai wahana dalam mengembangkan sastra lisan di daerahnya masing-masing dengan melakukan berbagai penelitian mengenai sastra lisan agar sastra lisan dapat berkembang dan tidak akan mengalami kepunahan seperti yang dikhawatirkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar