Minggu, 23 Oktober 2011

TUGAS REVIEW

KRITIK SASTRA HUMANIS PADA KRITIK SASTRA H.B JASSIN MENGENAI DRAMA-DRAMA EL HAKIM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat dan paradigma dalam ilmu sastra yang diampuh oleh Prof. Dr. Faruk, H.T


OLEH:
JAFAR LANTOWA
(11/322953/PSA/02438)










PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011






 
TUGAS
REVIEW KRITIK SASTRA HUMANIS PADA KRITIK SASTRA H.B JASSIN
                                                                             oleh
JAFAR LANTOWA
(11/322953/PSA/02438)

Dalam tulisan ini, mengulas kembali uraian kritik sastra Humanis yang ditulis oleh Prof. Dr. Faruq, H.T dalam BULAK Jurnal Sosial dan Budaya UGM dan menerapkan kritik sastra humanis pada salah satu kritik sastra H.B Jassin mengenai beberapa drama El Hakim yang terdapat pada buku kritik sastra Indonesia H.B Jassin.
Kritik sastra humanis adalah kritik sastra yang melakukan pemahaman dan penilaian terhadap karya sastra atas dasar satu pandangan dunia yang menempatkan manusis sebagai pusat dunia, sebagai asal dan sekaligus tujuan dari segala proses kehidupan berlangsung di dunia, baik kehidupan manusiawi maupun alamiah.
Kritik sastra humanis itu merupakan bagaian dari formasi diskursif yang lahir dan berkembang sejak awal abad XVI. Perjuangan kritik sastra ini adalah menemukan kembali manusia sebagai makhluk yang bermartabat, sekaligus sebagai subjek yang mandiri, dan sekaligus sebagai kekuatan yang formatif-determinatif terhadap lingkungan sekitarnya. Humanisme merupakan fase awal dari modernisme. Fase keduanya adalah pencerahan yang juga merupakan formasi diskursif yang terarah pada pembentukan subjek. Subjektivitas manusia dipahami sebagai kemampuan manusia itu untuk berpikir rasional dengan cara membebaskan diri dari segala bentuk prasangka, terutama segala pengaruh mitos dan alam pemikiran manusia.
Romantisme yang merupakan paham yang berpengaruh kuat dan bahkan hidup dan berkembang di lingkungan seniman dan sastrawan juga merupakan formasi diskursif humanis. Dalam kasus kesenian dan kesustraan roh tersebut adalah subjektifitas seniman dan sastrawannya. Kritik sastra yang berkembang antara lain adalah kritik sastra yang berusaha menemukan diri sastrawan sebagai asal dan tujuan dari karya-karya sastranya.
Abrams juga menyebut adanya jenis-jenis kritik sastra yang lain, yaitu kritik sastra ekspresif, kritik sastra mimetik, kritik sastra objektif, dan kritik sastra yang menimbang karya sastra dari segi kemungkinan pengaruh atau efeknya terhadap pembacaatau disebut kritik sastra pragmatik. Namun, sesungguhnya berbagai kritik tersebut, secara paradigmatik, bisa ditempatkan dalam satu kategori dengan krtik sastra ekspresif. Semuanya merupakan kritik sastra humanis yang diarahkan dan dikerahkan untuk membangun subjektivitas manusia.
Menjadikan dunia objektif menjadi subjektif, mengemansipasikan yang tidak berdaya menjadi berdaya, analog dengan membuat yang mati menjadi hidup atau menghidupkan dunia objek yang mati. Hidup, dengan demikian merupakan salah satu kunci dan kritik sastra humanis.
Bagian awal H.B Jassin menguraikan mengenai pengarangnya yakni Dr. Abu Hanifah yang memakai nama samaran El Hakim. Abu Hanifah adalah adalah abang kandung Usmar Ismail. Dan boleh diktakan bahwa jiwa Usmar Ismail adalah ahsil asuhan dan didikan Abu Hanifah. Ada usaha Usmar melepaskan diri kemudian, tapi ini hanya mengenai perbedaan pandangan tentang adat-istiadat. Pada umumnya keduanya punya visi yang sama mengenai ketuhanan dan perjuangan kebangsaan.
Di Masa Jepang, Abu Hanifah punya praktek sendiri dan beliau giat pula dalam gerakan politik dan sosial dan terutama gerakan pemuda. Sebelum perang beliau pernah bekerja sebagai dokter di Sumatra Tengah dan kemudian sebagai dokter kapal berpangkat opsir. Pengalaman-pengalamannya sebagai dokter di hutan-hutan Sumatra Tengah, yang bisa dibaca dalam romannya Dokter Rimbu yang diterbitkan oleh Penerbitan dan Balai Buku Indonesia (1952), yaitu ”kisah seorang dokter muda bangsa Indonesia yang bercita-cita tinggi dan terjun ke dalam pekerjaan kedokteran di rimba dan masyarakatnya. Diceritakan betapa sukarnya perjuangan di tengah-tengah masyarakat yang bertentangan, oleh karena masyarakat rimba ini adalah masyarakat perkebunan pasar, masyarakat kapital, masyarakat penduduk yang terbelakang dalam segala hal dan juga masyarakat adat-istiadat yang sangat kolot.
Buku-bukunya yang lain ialah Rintisan Filsafat I (BP 1947), dalam mana ”Filsafat Barat ditilik dengan Jiwa Timur”, Kita berjuang (Merdeka Press 1947), Soal Agama dalam Negara Modern (Tinta Mas, Jakarta, 1949), dan lain-lain. Drama-drama Abu Hanifah atau El Hakim yang dikumpulkan oleh Balai Pustaka dalam Taufan di Atas Asia, yakni: ”Taufan di Atas Asia” (sandiwara 4 bagian, dipersembahkan kepada ”Angkatan Muda”), ”Intelek Istimewa” (drama dalam tiga babak), dan ”Insan Kamil” (drama dalam tiga babak). Semua drama ini ditulis waktu pendudukan Jepang dan telah berkali-kali dipertunjukkan oleh Maya. Di waktu revolusi, Abu Hanifah tidak tinggal diam pula dan mengarang dua drama lagi, yakni ”Rogaya” (drama empat babak) dan ”Bambang Laut” (drama tiga babak).
Semenjak Pujangga Baru ramai diperdebatkan soal Timur dan Barat, dan ditinjau dalam hubungan ini, Abu Hanifah waktu menulis darama-dramanya di waktu pendudukan Jepang, masih dikuasai pikiran ini. Dan lebih jauh lagi sampailah kita pada pandangan hidup generasi menyebut dirinya angkatan 45, dengan pelopornya Chairil Anwar yang hanya mengakui Manusia dalam arti universal dan tidak hidup lagi dalam pertentangan pikiran Timur-Barat.
Perlu diterangkan bahwa sesudah melawan Amerika dan Eropa, Abu Hanifah rupanya telah berubah pandangannya yang sbelumnya begitu radikal, yakni bahwa Barat itu (maksudnya Eropa dan Amerika) materialistis dan Timur idealistis. Di masa kemudian beliau dengan tegas mengakui bahwa Amerika dan Eropa juga idealistis dan teringatlah beliau pada hidup kesenian dan kebudayaan di kedua benua tersebut.
Adapun jalan pikiran Abu Hanifah sebelum berubah demikian, berdasarkan drama-dramanya di masa pendudukan Jepang. Dalam pertumbuhannya, pada umumnya bangsa-bangsa Timur merasa bahwa mereka perlu dari Barat teknik modernya dengan tidak melepaskan semua anasir-anasir ketimurannya. Lebih-lebih di mana Barat dengan kecerdasan otaknya yang sangat jauh, seolah menghadapi keruntuhannya dan mencari jiwa idealisme kembali, bangsa-bangsa Timur terlebih-lebih lagi cenderung hendak berpegang pada harga dasar Timurnya dalam mengejar terus apa yang dirasanya baik diambil dari Barat.
Pikiran serupa itu juga yang terdapat dalam karangan-karangan sandiwara El Hakim, yakni hasil dan bayangan cita-cita dan pandangan Abu Hanifah tentang bagaimana seharusnya manusia Asia, dalam hal ini manusia Indonesia, pikiran-pikiran yang sudah lebih dulu diletakannya dalam buku Rintisan Filsafat, yang menerangkan dalam garis-garis besar perbedaan dan pertentangan antara filsafat naturalisme dan idealisme, di mana dia dengan tegas mengemukakan dan memilih idealisme buat Indonesia.
Dalam kritik sastra Humanis yang merupakan yang membangun subjektivitas manusia melalui pandangan pengarangnya, maka dalam drama El Hakim yang memandang manusia sebagai manusia kolektivitas dan cenderung dipahami sebagai individu dalam konteks tertentu serta kritik sastra yang berusaha membebaskan manusia dari ”belenggu” sehingga menemukan kembali manusia sebagai makhluk bermartabat, sebagai subjek yang mandiri, Dalam drama El Hakim, kritik sastra Humanis tampak pada pengarang yang memandang bagaimana seharunya manusia Indonesia yang melepaskan diri dari tekanan-tekanan Eropa dan Amerika serta pengarangnya yang memilih idealisme buat Indonesia. Hal tersebut tampak pada beberapa kritik H.B Jassin yang terdapat dalam beberapa drama El Hakim, yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam ”Taufan di Atas Asia” yang bermain di dua kota (Jakarta dan Singapura) dilukiskan suasana tatkala Perang Asia Raya akan meletus. Cerita berputar pada seorang pemimpin kantor dagang dan nasionalis, Drs. Abdul Azas, yang membuka perusahaan di Singapura dan menyuruh istrinya pulang duluan ke Jakarta, berhubung dengan kegentingan yang meliputi udara pasifik. Dalam percakapan-percakapan antara pemimpin-pemimpin peregerakan Indonesia, penganjuran persatuan kaum kaum nasionalis dan umat Islam dan cita-cita ke-Asia-an di kota internasional Singapura, kita dengar dari pergaulan kawan-kawan secita-cita Abdul Azas dari Indonesia, Cheong Fung dan Lee Moy dari Tiongkok, dan Sardar Khan dari India.
Musik Beethoven atau Pastorole opus 68” tertulis dalam keterangan antara tanda kurung. Mengapa bukan lagu Arab atau Pasri, bahkan India, atau, salah satu negeri Timur yang lain? Di sini pun kelihatan keinginan akan sintese Timur dan Barat. Dan lagi di mana manusia telah naik meninggi melepaskan diri dari hawa nafsu, di sana tidak ada lagi Barat dan Timur. Di sana hanya ada Harmoni.
Tentang sintese Barat dan Timur dikemukakan bahwa orang Indonesia harus ”berilmu secara Barat, tetapi berjiwa Timur”. Ilmu pengetahuan harus kita terima, malahan kita berikhtiar selekas mungkin mengejar ketinggalan kita dalam ilmu pengetahuan”.”Bagi kita anak Indonesia, anak Timur, yang penting ialah pertama: Agama Islam jadi darah daging bangsa Indonesia, itu berarti lebih dari 50 milyun bangsa Indonesia beragama Islam”. Ibu Indonesia ialah ibu pendidik dan ibu pencinta bangsa.” Demikian beberapa pokok pirian yang dikemukakan dalam”Dewi Reni”.
Drama yang kedua dalam kumpulan Taufan di Atas Asia ialah “Intelek Istimewa”, terdiri dari tiga bagian.
Dalam “Intelek Istimewa” dilakonkan seorang dokter (Dr.Taha Kamil) yang bersemboyan: Pengetahuan ialah kekuasaan. Siapa yang berilmu, mudah mencari uang dan uang berarti kekuasaan. Kekuasaan dalam segala lapangan. Terhadap perjuangan Bangsa, Dr. Taha tidak mau turut campur, sebab menurut anggapannya, seorang dokter harus hanya memikirkan rumah sakit dan penyakit dan jika ia dalam hal pengobatan bias mencapai hasil-hasil mengagumkan, ia akan dengan sendirinya mengangkat derajat bangsa di mata bangsa asing. Nasihatnya pada Susilo, keponakannya yang hamper jadi Dokter: Jangan sekali-kali mau seperti beberapa teman sejawatmu yang serba susah kedudukannya, karena campur dalam politik atau dunia social atau lain-lain, “Kita kaum dokter, kaum intelek istimewa, harus mempertahankan golongan sendiri.” Diejeknya orang yang percaya pada Tuhan. “Lebih baik lagi kalau kita berikhtiar sendiri,” katanya pada manterinya,”dengan otak sendiri, tenaga sendiri, mengambil rezeki dan hak kita sendiri di mana bias.”
Anggapan-anggapannya yang materialistis menjadikan ia bentrokan dengan orang-orang sekitarnya. Nyi Sundari, istri rahasianya yang dimanjakannya dengan uang, ketika akan dapat anak dari padanya, dating menagih cinta kasihnya yang sebenarnya buat bakal anaknya yang masih dalam kandungan, cinta kasih yang tidak dikenal oleh materialistis dokter Taha Kamil. Kedua anaknya yang masih gadis, Sutarti dan Sulasmi, hendak meninggalkannya, karena tidak mendapatkan dari padanya kasih seorang ayah dan mereka tidak bias pula membaktikan kasihnya sebagai anak pada ayahnya yang tidak mau mengerti.
Tapi fajar keinsyafan menyingsing dari perkataan putus asa: “Aku sudah tua, siapa yang akan menjaga akau? Kamu tidak kasihan padaku. Aku kan bapakmu? Dan buat siapa aku bekerja lagi pada waktu ini kalau tidak buat kamu berdua?” Semua kamu mencari bahagia, mencari kasih, Sutarti, Sulasmi, dan begitu juga Susilo. Benrkah begitu besar harga kasih itu?”. “Seperti mulai turun bintangku, seperti salah tujuan hidupku. Seperti angan-angan hidup belaka yang tak ada faedahnya. Seperti akan mengejar bintang yang jauh, sedangkan rumahku runtuh di bawah kakiku”.
Demikian El Hakim akhirnya melukiskan Dr. Taha Kamil sebagai orang yang merasa berdosa dan hendak menebus dosanya dengan mengabdikan diri pada masyarakat.
Drama ketiga dalam kumpulan Taufan di Atas Asia ialah “Dewi Reni”, terdiri atas tiga babak.
Drama “Dewi Reni” ini dipertunjukkan beberapa kali oleh sandiwara penggemar Maya dalam masa akhir pendudukan Jepang, sebagai menyambut janji Indonesia Merdeka “Kelak di kemudian hari”. Oleh isinya yang bertendensi berat pada kebesaran Indonesia dan coraknya yang bersifat keagamaan, yang mungkin akan mengembalikan bangsa Indonesia pada kepribadiannya sendiri, hingga membahayakan cita-cita Jepang yang hendak menipponkan Indonesia, maka tonil ini tertahan beberapa lama dan hamper-hampir tidak lolos dari sensur. Agaknya kekalahan-kelahan Jepang pada beberapa bulan sebelum jatuhnya, melemahkan pula pertimbangan sensur untuk menahan tonil ini. Akhirnya memang dilepaskan juga; boleh jadi dengan pertimbangan bahwa dengan cara ini mungkin masih bias tergolong perangnya, berkat tekad bangsa Indonesia sebagai bangsa mempertahankan tanah airnya.
Dalam tonil ini, Dewi Reni adalah perlambang Indonesia dan orang-orang sekelilingnya, yakni beberapa golongan yang mencintainya. Harlono perlambang para seniman Indonesia yang mula-mula seolah kehilangan pegangan, tapi kemudian mencari jalan dan dapat tempat tumpuan kembali, yakni agama dan kebangsaan, Ukar Sumodikromo perlambang para pedagang Indonesia, Chalid Walid angkatan muda Indonesia, semuanya berlomba-lomba hendak membaktikan tenaga pada kekasih Indonesia, Dewi Reni. Sedang Ki Alwi mewakili tenaga gaib yang mengarahkan segalanya untuk kebaikan Indonesia, yakni pujangga dan filosof yang memberi perjuangan Indonesia isi keagamaan dan ketuhanan.
Satu lagi drama Abu Hanifah ialah “Insan Kamil”, lukisan pergaulan modern pemuda-pemuda yang bebas, tapi tetap berdasarkan kesusilaan dan uraian jiwa pemuda dan pemudi soal percintaan.
Dari uraian di atas jelas bahwa kritik sastra Humanis pada kritik sastra H.B Jassin mengenai drama-drama El Hakim terlihat adanya eksistensi manusia dalam hal ini masyarakat Indonesia yang berjuang demi memperjuangkan bangsa Indonesia sebagai Negara yang berkembang dan terlepas dari kekuasaan Barat. Hal tersebut tampak pada pandangan pengarang yakni Dr. Abu Hanifah atau El Hakim mengenai idealism untuk berpegang pada harga dasar timurnya, satu kata kunci yang diungkapkan pada salah satu dramanya “Orang Indonesia harus “berilmu secara Barat, tetapi berjiwa timur”.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Resensi Sastra Lisan Ternate

I. IDENTITAS BUKU
Judul                          : Sastra Lisan Ternate: Analisis Struktur dan Nilai Budaya
Penulis                        : Dra. W. Piris-P, Dra. D. Amahorseya, dan Drs. J. Pentury
Tahun Terbit               : 2000
KotaTerbit                 : Jakarta
Penerbit                      : Pusat Bahasa
Isi
Jumlah Bab               : Enam (6) Bab
Jumlah Halaman        : x + 106 Halaman; 21 cm

II. Anatomi Buku
A. Bab I Pendahuluan
          Terdiri atas:
1.    Latar belakang penelitian
2.    Rumusan masalah yang akan diteliti
3.    Tujuan penelitian
4.    Kerangka teori acuan
5. Metode dan Teknik
5.    Populasi dan sampel penelitian
          Populasi dalam penelitian ialah semua sastra lisan Ternate, sedangkan yang menjadi sampel ialah sastra lisan Ternate di Kota Ternate yang berbentuk prosa dan puisi
 6.  Metode penelitian
          Menggunakan metode deskriptif kualitatif dan teknik perolehan data dalam penelitian ini sebagai berikut:
(1). teknik observasi (pengamatan) langsung untuk mengetahui data lingkungan penceritaan serta mengumpulkan naskah yang ada hubungannya dengan sastra lisan Ternate

(2) teknik wawancara langsung dengan informan atau responden, dan
(3) teknik perekaman sastra lisan langsung dari penuturnya atau responden. Hasil rekaman kemudian ditranskripsi langsung ke bahasa Indonesia. Jika cerita disampaikan dalam bahasa daerah, hasil rekaman diterjemahkan dulu ke dalam bahasa Indonesia

B. Bab II Latar Belakang Sosial Budaya
Dalam bab ini peneliti menguraikan latar belakang sosial budaya Ternate yang meliputi geografi, penduduk dan adat istiadat, agama, dan bahasa. Secara geografis Pulau Ternate terletak di antara 20 30’-20 35’BT 0 44-0 50’LU, dengan jumlah penduduk 84.251 jiwa dan bermatapencaharian bercocok tanam dan menangkap ikan secara tradisional.
Masyarakat Ternate terdiri atas penduduk asli dan pendatang, dan memiliki sifat gotong royong yang sangat tinggi, penduduk asli Ternate memegang adapt-istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka dengan sangat kuat dan penduduknya berwatak keras, tidak mudah dipengaruhi oleh siapa pun. Agama yang dianut penduduk Ternate ialah Islam, Katolik, dan Kristen. Sedangkan bahasa yang digunakan penduduk Ternate ialah bahasa Ibu/daerah dan bahasa Indonesia.

C. Bab III Kedudukan dan Fungsi Sastra Lisan Ternate
Dalam buku ini, peneliti menguraikan bahwa sastra lisan di Ternate berfungsi sebagai pembentuk watak manusia yang baik, sebagai alat kontrol masyarakat, sebagai alat komunikasi untuk menjalin hubungan kekeluargaan atau kekerabatan, dan sebagai alat penghibur dan juga berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kecermatan berbahasa.
Berdasarkan hasil wawancara tim peneliti dengan beberapa informan dapat diketahui bahwa dongeng atau cerita rakyat yang biasa diceritakan orang tua-tua dulu kepada anak cucunya tidak lagi merupakan kelaziman pada masa sekarang. Hal itu disebabkan oleh para orang tua terlalu sibuk mencari nafkah, dan teknik komunikasi masa sekarang sudah lebih praktisdan dapat dicapai oleh semua orang.
Seperti dikemukakan pada halaman 9, bahwa kedudukan dan fungsi sastra lisan Ternate akan hilang. Dengan sendirinya nilai budaya yang terkandung di dalamnya kan punah pula.

D. Bab IV Struktur Sastra Lisan Ternate
Dalam buku ini, terutama pada bab IV, menguraikan struktur sastra lisan di Ternate berupa prosa, dan Puisi. Adapun prosa terdiri dari mite, legenda, fable, dan puisi terdiri dari dola bololo, dalil moro, dalil tifa, cum-cum, mantra, dan tamsil.
Mite adalah cerita yang berhubungan dengan keajaiban, yang erat hubungannnya dengan kepercayaan kepada roh halus, seperti jin, setan, peri, yang juga berkaitan dengan adapt istiadat. Mite yang berhasil direkam dalam penelitian ini adalah asal mula mahkota, momole, dan puteri tujuh.
Salah satu contoh analisis struktur dalam buku ini adalah Mite “Asal Mula Mahkota”   yang menggunakan alur cerita lurus, erat, dan ganda. Tokoh dalam cerita Jafar Sadik, sebagai seorang penyiar Agama Islam, Sitti Nursafa, seorang bidadari dari kayangan, raja kayangan sebagai ayah Siti Nursafa yang memberikan mahkota kepada Mashur Malamo, dan Mashur Malamo adalah putra Jafar Sadik yang membawa mahkota ke bumi hasil pemberian kakeknya. Dilihat dari perwatakan/karakter, Jafar Sadik berwatak kuat, pantang menyerah, Sitti Nursafa berwatak lebih cinta kepada orang tua dan saudaranya di kayangan dari pada cinta kepada suami. Tema cerita adalah pemberian orang tua dapat bermanfaat bagi kehidupan anak cucunya. Latar/setting terdiri dari latar tempat, waktu, dan suasana. Latar tempat dalam cerita ini ialah di daerah Maluku Utara (Ternate) pada waktu penyiaran agama Islam dan di kayangan. Latar suasana ialah berlangsung dalam suasana suka cita dan kebahagiaan karena Mashur Malamo mendapat Mahkota pemberian kakeknya Raja Kayangan. Amanat atau pesan yang dapat dipilih dari cerita ini adalah pemberian orang tua, walaupun kecil, sangat berguna bagi kehidupan anak cucu kemudian hari sehingga pemberian tersebut perlu dijaga dan dilestarikan.
Prosa selanjutnya adalah legenda. Masyarakat Maluku Utara pada umumnya memprecayai tentang asal-usul kejadian suatu tempat, gunug, pulau, sungai, dan sebagainya. Salah satu yang dapat dijadikan contoh analisis structural dalam legenda adalah “Asal Mula Terjadinya Air Sentosa” yang memiliki alur lurus, alur erat, dan alur tunggal. Peran utama/tokoh utama adalah Sultan Ternate yang memiliki watak kesatria, karena dari tongkatnya terpancar sebuah mata air yang diberi nama air sentosa. Setting atau latar yang terungkap dalam cerita ini adalah latar tempat di Kedaton Ternate dan sekitarnya, latar suasana yakni kesulitan sumber air bagi masyarakat Ternate dan permohonan doa kepada Tuhan dari Sultan Ternate dan masyarakat untuk mendapakan sumber air. Legenda ini bertemakan doa yang sungguh-sungguh kepada Tuhan disertai keyakinan yang kuat akan mempermudah tercapainya tujuan. Amanat/pesan yang terkandung dalam cerita ini ialah komunikasi yang baik antar pemimpin dengan yang dipimpin menghasilkan hasil yang baik dan berdoa dengan kesungguhan hati disertai keyakinan yang kuat memiliki manfaat besar.
Prosa selanjutnya adalah Fabel. Dalam buku ini menguraikan bahwa fable adalah kisah kehidupan binatang yang dapat berbicara dan bertingkah laku seperti manusia. Salah satu contoh hasil penelitian adalah “Cecak”. Fabel “Cecak” menggunakan alur lurus dan alur tunggal. Tokoh utama adalah cecak, yang mencegah manusia dari kecelakaan dengan menggunakan bahasa alamnya, dan orang tua, yang selalu mengikuti petunjuk cecak demi keselamatan hidupnya. Sehingga dilihat dari perwatakannya, cecak berwatak suka membantu manusia dengan cara mencegah manusia dari bahaya yang akan mengancam. Karakter orang tua adalah patuh kepada yang memberikan nasehat kepadanya. Dalam cerita ini terdapat dua jenis latar, yakni latar tempat di Ternate dan dalam rumah serta latar suasana (persiapan menghadapi tugas di luar rumah). Tema yang dapat diangkat dari cerita ini ialah cecak membantu manusia dari bahaya yang akan menganca, sedangkan amanat atau pesan yang terdapat dalam cerita ini ialah binatang tidak boleh disakiti atau dianiaya sebab binatang juga membantu manusia dari bahaya yang akan mengancam.
Adapun sastra lisan berbentuk puisi dapat diuraikan melalui salah satu contohnya yakni mantra. Dalam budaya masyarakat Ternate mantra berfungsi untuk pengobatan dan kekebalan dengan tujuan melindungi diri pada waktu berkelahi ataupun berperang. Salah satu kutipan mantra adalah sebagai berikut:
Transkrip Terjemahan
Bismillahirrahman Bismillahirrahman
nirrahim nirrahim

To oro ri salawaku Kuambil perisaiku
To oro ri sagu-sagui Kuambil tombbakku

Doka ge lulu polote Seperti guruh meletus
Nakaha mai I robo Tanah pun retak
Matufa mai lenge Langit pun miring
Mamancia mai soro Musuh pun lari

Berdasarkan hasil penelitian dalam buku ini bahwa mkna mantra di atas adalah sebagai alat pelindung bagi seseorang dalam peperangan atas perkelahian dan untuk pengobatan.
D. Bab V Lingkungan Penceritaan dan Aspek Nilai  
Dalam bab ini tim peneliti menguraikan lingkungan penceritaan yang terdiri dari penutur cerita, tujuan bercerita, dan hubungan cerita dengan lingkungannya. Dalam halaman 82 menguraikan bahwa yang dimaksud dengan penutur cerita di dalam uraian ini ialah orang yang menuturkan cerita, prosa, ataupun puisi, rakyat Ternate. Penutur cerita adalah orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Ternate. Adapun tujuan bercerita yakni melestarikan cerita secara turun-temurun sehingga cerita itu tetap terjaga dan tidak dilupakan oleh generasi selanjutnya dan meberikan keterangan tentang suatu tempat, gunung, danau, air, dan lain-lain yang diberi nama tertentu sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Dalam aspek hubungan cerita dengan lingkunggannya, masyakat pendukung cerita meyakini bahwa cerita itu diceritakan secara turun temurun dalam cerita itu pernah terjadi pada masa lampau. Dengan demikian, cerita dapat mempengaruhi tingkah laku mereka. Cerita-cerita itu sangat erat hubungannya dengan lingkungan masyarakat ataupun lingkungan alamnya.
Aspek nilai mencakup aspek nilai budaya pada bentuk prosa dan puisi. Pada bentuk prosa dapat diuraikan melalui salah satu contoh prosa “Asal Mula Mahkota” melalui nilai religius. Dalam nilai religius cerita ini mengisahkan kehidupan Jafar Sadik sebagai seorang penyiar Agama Islam ke seluruh Maluku Utara, khususnya Ternate. Selain percaya kepada Tuhan, masyarakat Ternate percaya juga percaya kepada mahkota khusus rambut Jafar Sadik. Menurut mereka, meskipun benda mati, mahkota itu hidup karena kekuatan gaib. Mahkota itu juga merupakan satu-satunya tempat mereka mengadukan segala kesulitan. Nilai kesetiaan terdapat pada fable ‘tikus” yang mengisahkan kehidupan seorang nenek dan tikus. Nenek setia merawat serta menjga tikus sampai tikus sembuh dari sakit. Nilai social dalam fabel “Cecak” ialah mengingatkan kepada manusia akan sesuatu hal yang negatif menimpa dirinya. Selain nilai relgius dan nilai social, sastra lisan berbentuk prosa mengandung nilai histories, moral, nilai bekerja keras, dan nilai kesaktian. Adapun nilai budaya berbentuk puisi mengandung nilai pendidikan, nilai religius, nilai kesaktian.
Salah satu contoh dalam puisi “Dola Bololo”. Syair-syair dalam Dola Bololo” berisi pendidikan memberikan petunjuk kepada manusia bahwa untuk menghadapi hidup ini perlu persiapan yang mantap, baik fisik maupun mental. Hal tersebut terungkap pada bait ketiga berikut ini.
Jangan bersampan ke laut lepas
Cadik perahumu bambu yang muda

D. Bab VI Kesimpulan dan Saran 
          Dalam bab  ini, tim peneliti menguraikan kembali secara singkat pembahasan mengenai sastra lisan pada bab sebelumnya. Pada intinya bab ini mengemukakan kedudukan dan fungsi sastra lisan di Ternate dan beberapa saran demi melestarikan sastra lisan di Indonesia khususnya di Ternate.

III. Kelemahan dan Kelebihan Buku
          Kelebihan buku ini adalah dari segi isinya yang akan memberikan kesadaran bagi generasi sekarang dan selanjutnya akan kedudukan sastra lisan di Indonesia khususnya Ternate. Buku ini juga patut dijadikan sebagai referensi dalam memahami sastra lisan. Penelitian yang dilakukan terhadap penggunaan sastra lisan di Ternate berusaha mencari bentuk-bentuk sastra lisan yang pernah ada dan yang masih dikenal serta digunakan oleh masyarakat, yakni masyarakat Ternate. Prosedur pengambilan data dilakukan melalui beberapa metode dan tahap seleksi yang menghasilkan pokok-pokok kajian yang patut diperhatikan, seperti masalah bentuk sastra lisan, fungsi dan kedudukannya, serta masa depannya dalam kebudayaan masyarakat.    
          Buku berjudul Sastra Lisan Ternate: Analisis Struktur dan Nilai Budaya, selain membahas masalah bentuk, fungsi, dan kedudukan sastra lisan dalam masyarakat, juga mengungkapkan persoalan mendasar yang akhir-akhir ini menimpa banyak kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan sastra lisan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kemajuan teknologi, pola pikir yang berbeda dari generasi yang baru, serta aspek-aspek lainnya menyebabkan turunnya minat kalangan muda dalam menggunakan bentuk sastra lisan. Hal ini, menyebabkan terhambatnya pewarisan yang seharusnya dilakukan guna menjaga agar satu bagian kebudayaan tidak hilang dan lenyap begitu saja. Hal yang penting dari buku ini ialah, dilampirkannya contoh-contoh dari bentuk sastra lisan yang berkembang di Ternate. Ini, telah berarti banyak karena dengan demikian buku ini telah memberikan kesempatan kepada pembacanya yang berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan untuk memahami tradisi sastra lisan di Ternate dan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengannya.
Kekurangan buku ini terletak pada terbatasnya data yang disajikan dalam pembahasan tentang bentuk strukur puisi dalam sastra lisan Ternate, hanya langsung menguraikan makna puisi sehingga pemahaman pembaca terhadap puisi Ternate masih terbatas pada maknanya. Kekurangan buku ini juga, tidak adanya lampiran berupa hasil wawancara dan dokumentasi yang merupakan unsur terpenting dalam mendukung penelitian ini. Padahal, dengan adanya lampiran-lampiran tersebut akan memperkuat hasil penelitian yang telah dituangkan dalam buku ini.
IV. Penutup
Dalam meresensi buku ini, peresensi memperoleh pengetahuan mengenai sastra lisan yang ada di Ternate sehingga peresensi mengajak juga kepada pembaca lainnya agar menjadikan buku ini sebagai wahana dalam mengembangkan sastra lisan di daerahnya masing-masing dengan melakukan berbagai penelitian mengenai sastra lisan agar sastra lisan dapat berkembang dan tidak akan mengalami kepunahan seperti yang dikhawatirkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.