TUGAS
REVIEW
KRITIK
SASTRA HUMANIS PADA KRITIK SASTRA H.B JASSIN MENGENAI DRAMA-DRAMA EL
HAKIM
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat dan paradigma dalam ilmu
sastra yang diampuh oleh Prof. Dr. Faruk, H.T
OLEH:
JAFAR
LANTOWA
(11/322953/PSA/02438)
PROGRAM
STUDI MAGISTER ILMU SASTRA
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
TUGAS
REVIEW
KRITIK SASTRA HUMANIS PADA KRITIK SASTRA H.B JASSIN
oleh
JAFAR
LANTOWA
(11/322953/PSA/02438)
Dalam
tulisan ini, mengulas kembali uraian kritik sastra Humanis yang
ditulis oleh Prof. Dr. Faruq, H.T dalam BULAK Jurnal Sosial dan
Budaya UGM dan menerapkan kritik sastra humanis pada salah satu
kritik sastra H.B Jassin mengenai beberapa drama El Hakim yang
terdapat pada buku kritik sastra Indonesia H.B Jassin.
Kritik
sastra humanis adalah kritik sastra yang melakukan pemahaman dan
penilaian terhadap karya sastra atas dasar satu pandangan dunia yang
menempatkan manusis sebagai pusat dunia, sebagai asal dan sekaligus
tujuan dari segala proses kehidupan berlangsung di dunia, baik
kehidupan manusiawi maupun alamiah.
Kritik sastra
humanis itu merupakan bagaian dari formasi diskursif yang lahir dan
berkembang sejak awal abad XVI. Perjuangan kritik sastra ini adalah
menemukan kembali manusia sebagai makhluk yang bermartabat, sekaligus
sebagai subjek yang mandiri, dan sekaligus sebagai kekuatan yang
formatif-determinatif terhadap lingkungan sekitarnya. Humanisme
merupakan fase awal dari modernisme. Fase keduanya adalah pencerahan
yang juga merupakan formasi diskursif yang terarah pada pembentukan
subjek. Subjektivitas manusia dipahami sebagai kemampuan manusia itu
untuk berpikir rasional dengan cara membebaskan diri dari segala
bentuk prasangka, terutama segala pengaruh mitos dan alam pemikiran
manusia.
Romantisme
yang
merupakan paham yang berpengaruh kuat dan bahkan hidup dan berkembang
di lingkungan seniman dan sastrawan juga merupakan formasi diskursif
humanis. Dalam kasus kesenian dan kesustraan roh tersebut adalah
subjektifitas seniman dan sastrawannya. Kritik sastra yang berkembang
antara lain adalah kritik sastra yang berusaha menemukan diri
sastrawan sebagai asal dan tujuan dari karya-karya sastranya.
Abrams
juga menyebut adanya jenis-jenis kritik sastra yang lain, yaitu
kritik sastra ekspresif,
kritik sastra mimetik,
kritik sastra objektif, dan kritik sastra yang menimbang karya sastra
dari segi kemungkinan pengaruh
atau efeknya terhadap pembacaatau disebut kritik sastra pragmatik.
Namun, sesungguhnya berbagai kritik tersebut, secara paradigmatik,
bisa ditempatkan dalam satu kategori dengan krtik sastra ekspresif.
Semuanya merupakan kritik sastra humanis yang diarahkan dan
dikerahkan untuk membangun subjektivitas manusia.
Menjadikan
dunia objektif menjadi subjektif, mengemansipasikan yang tidak
berdaya menjadi berdaya, analog dengan membuat yang mati menjadi
hidup atau menghidupkan dunia objek yang mati. Hidup, dengan demikian
merupakan salah satu kunci dan kritik sastra humanis.
Bagian
awal H.B Jassin menguraikan mengenai pengarangnya yakni Dr. Abu
Hanifah yang memakai nama samaran El Hakim. Abu Hanifah adalah adalah
abang kandung Usmar Ismail. Dan boleh diktakan bahwa jiwa Usmar
Ismail adalah ahsil asuhan dan didikan Abu Hanifah. Ada usaha Usmar
melepaskan diri kemudian, tapi ini hanya mengenai perbedaan pandangan
tentang adat-istiadat. Pada umumnya keduanya punya visi yang sama
mengenai ketuhanan dan perjuangan kebangsaan.
Di
Masa Jepang, Abu Hanifah punya praktek sendiri dan beliau giat pula
dalam gerakan politik dan sosial dan terutama gerakan pemuda. Sebelum
perang beliau pernah bekerja sebagai dokter di Sumatra Tengah dan
kemudian sebagai dokter kapal berpangkat opsir.
Pengalaman-pengalamannya sebagai dokter di hutan-hutan Sumatra
Tengah, yang bisa dibaca dalam romannya Dokter Rimbu yang diterbitkan
oleh Penerbitan dan Balai Buku Indonesia (1952), yaitu ”kisah
seorang dokter muda bangsa Indonesia yang bercita-cita tinggi dan
terjun ke dalam pekerjaan kedokteran di rimba dan masyarakatnya.
Diceritakan betapa sukarnya perjuangan di tengah-tengah masyarakat
yang bertentangan, oleh karena masyarakat rimba ini adalah masyarakat
perkebunan pasar, masyarakat kapital, masyarakat penduduk yang
terbelakang dalam segala hal dan juga masyarakat adat-istiadat yang
sangat kolot.
Buku-bukunya
yang lain ialah Rintisan Filsafat I (BP 1947), dalam mana ”Filsafat
Barat ditilik dengan Jiwa Timur”, Kita berjuang (Merdeka Press
1947), Soal Agama dalam Negara Modern (Tinta Mas, Jakarta, 1949), dan
lain-lain. Drama-drama Abu Hanifah atau El Hakim yang dikumpulkan
oleh Balai Pustaka dalam Taufan di Atas Asia, yakni: ”Taufan di
Atas Asia” (sandiwara 4 bagian, dipersembahkan kepada ”Angkatan
Muda”), ”Intelek Istimewa” (drama dalam tiga babak), dan ”Insan
Kamil” (drama dalam tiga babak). Semua drama ini ditulis waktu
pendudukan Jepang dan telah berkali-kali dipertunjukkan oleh Maya. Di
waktu revolusi, Abu Hanifah tidak tinggal diam pula dan mengarang dua
drama lagi, yakni ”Rogaya” (drama empat babak) dan ”Bambang
Laut” (drama tiga babak).
Semenjak
Pujangga Baru ramai diperdebatkan soal Timur dan Barat, dan ditinjau
dalam hubungan ini, Abu Hanifah waktu menulis darama-dramanya di
waktu pendudukan Jepang, masih dikuasai pikiran ini. Dan lebih jauh
lagi sampailah kita pada pandangan hidup generasi menyebut dirinya
angkatan 45, dengan pelopornya Chairil Anwar yang hanya mengakui
Manusia dalam arti universal dan tidak hidup lagi dalam pertentangan
pikiran Timur-Barat.
Perlu
diterangkan bahwa sesudah melawan Amerika dan Eropa, Abu Hanifah
rupanya telah berubah pandangannya yang sbelumnya begitu radikal,
yakni bahwa Barat itu (maksudnya Eropa dan Amerika) materialistis dan
Timur idealistis. Di masa kemudian beliau dengan tegas mengakui bahwa
Amerika dan Eropa juga idealistis dan teringatlah beliau pada hidup
kesenian dan kebudayaan di kedua benua tersebut.
Adapun
jalan pikiran Abu Hanifah sebelum berubah demikian, berdasarkan
drama-dramanya di masa pendudukan Jepang. Dalam pertumbuhannya, pada
umumnya bangsa-bangsa Timur merasa bahwa mereka perlu dari Barat
teknik modernya dengan tidak melepaskan semua anasir-anasir
ketimurannya. Lebih-lebih di mana Barat dengan kecerdasan otaknya
yang sangat jauh, seolah menghadapi keruntuhannya dan mencari jiwa
idealisme kembali, bangsa-bangsa Timur terlebih-lebih lagi cenderung
hendak berpegang pada harga dasar Timurnya dalam mengejar terus apa
yang dirasanya baik diambil dari Barat.
Pikiran
serupa itu juga yang terdapat dalam karangan-karangan sandiwara El
Hakim, yakni hasil dan bayangan cita-cita dan pandangan Abu Hanifah
tentang bagaimana seharusnya manusia Asia, dalam hal ini manusia
Indonesia, pikiran-pikiran yang sudah lebih dulu diletakannya dalam
buku Rintisan Filsafat, yang menerangkan dalam garis-garis besar
perbedaan dan pertentangan antara filsafat naturalisme dan idealisme,
di mana dia dengan tegas mengemukakan dan memilih idealisme buat
Indonesia.
Dalam
kritik sastra Humanis yang merupakan yang membangun subjektivitas
manusia melalui pandangan pengarangnya, maka dalam drama El Hakim
yang memandang manusia sebagai manusia kolektivitas dan cenderung
dipahami sebagai individu dalam konteks tertentu serta kritik sastra
yang berusaha membebaskan manusia dari ”belenggu” sehingga
menemukan kembali manusia sebagai makhluk bermartabat, sebagai subjek
yang mandiri, Dalam drama El Hakim, kritik sastra Humanis tampak pada
pengarang yang memandang bagaimana seharunya manusia Indonesia yang
melepaskan diri dari tekanan-tekanan Eropa dan Amerika serta
pengarangnya yang memilih idealisme buat Indonesia. Hal tersebut
tampak pada beberapa kritik H.B Jassin yang terdapat dalam beberapa
drama El Hakim, yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam
”Taufan di Atas Asia” yang bermain di dua kota (Jakarta dan
Singapura) dilukiskan suasana tatkala Perang Asia Raya akan meletus.
Cerita berputar pada seorang pemimpin kantor dagang dan nasionalis,
Drs. Abdul Azas, yang membuka perusahaan di Singapura dan menyuruh
istrinya pulang duluan ke Jakarta, berhubung dengan kegentingan yang
meliputi udara pasifik. Dalam percakapan-percakapan antara
pemimpin-pemimpin peregerakan Indonesia, penganjuran persatuan kaum
kaum nasionalis dan umat Islam dan cita-cita ke-Asia-an di kota
internasional Singapura, kita dengar dari pergaulan kawan-kawan
secita-cita Abdul Azas dari Indonesia, Cheong Fung dan Lee Moy dari
Tiongkok, dan Sardar Khan dari India.
”Musik
Beethoven atau Pastorole opus 68” tertulis dalam keterangan antara
tanda kurung. Mengapa bukan lagu Arab atau Pasri, bahkan India, atau,
salah satu negeri Timur yang lain? Di sini pun kelihatan keinginan
akan sintese Timur dan Barat. Dan lagi di mana manusia telah naik
meninggi melepaskan diri dari hawa nafsu, di sana tidak ada lagi
Barat dan Timur. Di sana hanya ada Harmoni.
Tentang
sintese Barat dan Timur dikemukakan bahwa orang Indonesia harus
”berilmu secara Barat, tetapi berjiwa Timur”. Ilmu pengetahuan
harus kita terima, malahan kita berikhtiar selekas mungkin mengejar
ketinggalan kita dalam ilmu pengetahuan”.”Bagi kita anak
Indonesia, anak Timur, yang penting ialah pertama: Agama Islam jadi
darah daging bangsa Indonesia, itu berarti lebih dari 50 milyun
bangsa Indonesia beragama Islam”. Ibu Indonesia ialah ibu pendidik
dan ibu pencinta bangsa.” Demikian beberapa pokok pirian yang
dikemukakan dalam”Dewi Reni”.
Drama
yang kedua dalam kumpulan Taufan di Atas Asia ialah “Intelek
Istimewa”, terdiri dari tiga bagian.
Dalam
“Intelek Istimewa” dilakonkan seorang dokter (Dr.Taha Kamil) yang
bersemboyan: Pengetahuan ialah kekuasaan. Siapa yang berilmu, mudah
mencari uang dan uang berarti kekuasaan. Kekuasaan dalam segala
lapangan. Terhadap perjuangan Bangsa, Dr. Taha tidak mau turut
campur, sebab menurut anggapannya, seorang dokter harus hanya
memikirkan rumah sakit dan penyakit dan jika ia dalam hal pengobatan
bias mencapai hasil-hasil mengagumkan, ia akan dengan sendirinya
mengangkat derajat bangsa di mata bangsa asing. Nasihatnya pada
Susilo, keponakannya yang hamper jadi Dokter: Jangan sekali-kali mau
seperti beberapa teman sejawatmu yang serba susah kedudukannya,
karena campur dalam politik atau dunia social atau lain-lain, “Kita
kaum dokter, kaum intelek istimewa, harus mempertahankan golongan
sendiri.” Diejeknya orang yang percaya pada Tuhan. “Lebih baik
lagi kalau kita berikhtiar sendiri,” katanya pada
manterinya,”dengan otak sendiri, tenaga sendiri, mengambil rezeki
dan hak kita sendiri di mana bias.”
Anggapan-anggapannya
yang materialistis menjadikan ia bentrokan dengan orang-orang
sekitarnya. Nyi Sundari, istri rahasianya yang dimanjakannya dengan
uang, ketika akan dapat anak dari padanya, dating menagih cinta
kasihnya yang sebenarnya buat bakal anaknya yang masih dalam
kandungan, cinta kasih yang tidak dikenal oleh materialistis dokter
Taha Kamil. Kedua anaknya yang masih gadis, Sutarti dan Sulasmi,
hendak meninggalkannya, karena tidak mendapatkan dari padanya kasih
seorang ayah dan mereka tidak bias pula membaktikan kasihnya sebagai
anak pada ayahnya yang tidak mau mengerti.
Tapi
fajar keinsyafan menyingsing dari perkataan putus asa: “Aku sudah
tua, siapa yang akan menjaga akau? Kamu tidak kasihan padaku. Aku kan
bapakmu? Dan buat siapa aku bekerja lagi pada waktu ini kalau tidak
buat kamu berdua?” Semua kamu mencari bahagia, mencari kasih,
Sutarti, Sulasmi, dan begitu juga Susilo. Benrkah begitu besar harga
kasih itu?”. “Seperti mulai turun bintangku, seperti salah tujuan
hidupku. Seperti angan-angan hidup belaka yang tak ada faedahnya.
Seperti akan mengejar bintang yang jauh, sedangkan rumahku runtuh di
bawah kakiku”.
Demikian El Hakim
akhirnya melukiskan Dr. Taha Kamil sebagai orang yang merasa berdosa
dan hendak menebus dosanya dengan mengabdikan diri pada masyarakat.
Drama ketiga dalam
kumpulan Taufan di Atas Asia ialah “Dewi Reni”, terdiri atas tiga
babak.
Drama “Dewi Reni”
ini dipertunjukkan beberapa kali oleh sandiwara penggemar Maya dalam
masa akhir pendudukan Jepang, sebagai menyambut janji Indonesia
Merdeka “Kelak di kemudian hari”. Oleh isinya yang bertendensi
berat pada kebesaran Indonesia dan coraknya yang bersifat keagamaan,
yang mungkin akan mengembalikan bangsa Indonesia pada kepribadiannya
sendiri, hingga membahayakan cita-cita Jepang yang hendak menipponkan
Indonesia, maka tonil ini tertahan beberapa lama dan hamper-hampir
tidak lolos dari sensur. Agaknya kekalahan-kelahan Jepang pada
beberapa bulan sebelum jatuhnya, melemahkan pula pertimbangan sensur
untuk menahan tonil ini. Akhirnya memang dilepaskan juga; boleh jadi
dengan pertimbangan bahwa dengan cara ini mungkin masih bias
tergolong perangnya, berkat tekad bangsa Indonesia sebagai bangsa
mempertahankan tanah airnya.
Dalam tonil ini,
Dewi Reni adalah perlambang Indonesia dan orang-orang sekelilingnya,
yakni beberapa golongan yang mencintainya. Harlono perlambang para
seniman Indonesia yang mula-mula seolah kehilangan pegangan, tapi
kemudian mencari jalan dan dapat tempat tumpuan kembali, yakni agama
dan kebangsaan, Ukar Sumodikromo perlambang para pedagang Indonesia,
Chalid Walid angkatan muda Indonesia, semuanya berlomba-lomba hendak
membaktikan tenaga pada kekasih Indonesia, Dewi Reni. Sedang Ki Alwi
mewakili tenaga gaib yang mengarahkan segalanya untuk kebaikan
Indonesia, yakni pujangga dan filosof yang memberi perjuangan
Indonesia isi keagamaan dan ketuhanan.
Satu lagi drama Abu
Hanifah ialah “Insan Kamil”, lukisan pergaulan modern
pemuda-pemuda yang bebas, tapi tetap berdasarkan kesusilaan dan
uraian jiwa pemuda dan pemudi soal percintaan.
Dari uraian di atas
jelas bahwa kritik sastra Humanis pada kritik sastra H.B Jassin
mengenai drama-drama El Hakim terlihat adanya eksistensi manusia
dalam hal ini masyarakat Indonesia yang berjuang demi memperjuangkan
bangsa Indonesia sebagai Negara yang berkembang dan terlepas dari
kekuasaan Barat. Hal tersebut tampak pada pandangan pengarang yakni
Dr. Abu Hanifah atau El Hakim mengenai idealism untuk berpegang pada
harga dasar timurnya, satu kata kunci yang diungkapkan pada salah
satu dramanya “Orang Indonesia harus “berilmu secara Barat,
tetapi berjiwa timur”.